"Iya, saya serius suka sama kamu," jawab Kai lantang.
Muka Mei bersemu, apa ini? Ini tidak nyata kan? Mana mungkin pria seperti Kai menyukai dirinya. Sadarlah, ini semua pasti mimpi.
Mengetahui raut wajah Mei yang berubah itu Kai terkekeh. "Jangan salah paham, maksud dari saya suka kamu itu adalah saya suka sama kamu kalo kamu sakit. Kalo kamu sakit kan kamu nggak ngeselin, nggak bikin masalah, dan yang lebih penting bawelnya kamu jadi berkurang," jelas Kai.
Seketika Mei menatap Kai masam, ternyata itu maksudnya. Ya, memang sih, tidak mungkin kan, seorang Kai menyukai gadis aneh seperti dirinya. Eh, Mei menggelengkan kepalanya dua kali, kenapa ia jadi seperti berharap? Tidak! Jangan berharap! Mei menggelengkan kepalanya.
"Btw kayaknya mau hujan deh." Kai menunjuk langit yang semula cerah berubah menjadi muram.
"Hujan? Yeeyy hujan!" Mei bersorak riang saat satu tetes air hujan mengenai dahinya.
"Kamu itu nggak paham ya? Hujannya kan bisa bikin kamu tambah sakit!"
"Nggak! Hujan nggak bisa bikin sakit kok, orang hujan itu baik buat kesehatan," balas Mei.
Kai mendengus, "Kata siapa?"
"Kata Mei," ujar gadis itu.
"Bohong!"
"Kalo bohong pasti hidung Mei panjang."
"Nggak mungkin, hidung kamu kan pesek! Nggak mungkinlah tiba-tiba jadi panjang."
Mei mendengus dibilang pesek. "Terserah pokoknya Mei mau main hujan!"
"Jangan!" larang Kai.
Sebelum Kai mengomel panjang lebar, tentang larangan bermain hujan, Mei sudah duluan berlari menjauhi pohon kapuk randu tersebut.
"Jangan lari!" jerit Kai, namun tak dihiraukan oleh Mei.
Hujan mulai turun, bulir-bulirnya runtuh membasahi pohon-pohon dan rumput hijau di sekitar. Mei masih terus berlari-lari, hingga tanpa sengaja gadis aneh itu jatuh tersandung batu. Kai tertawa melihatnya. Dasar gadis keras kepala! Sudah berkali-kali diperingati masih juga berlari.
Kai segera menghampiri Mei, mengulurkan tangannya untuk membantu Mei. Mei meraihnya, segera berdiri dari jatuhnya. Tak apa meski lututnya luka, ia masih tetap ingin main hujan. Mei kembali bersiap ingin lari.
Namun, hal itu tidak akan Kai biarkan kembali terjadi. Ya, sebelum Mei berlari dan melakukan 'tarian hujan' tak jelas itu Kai dengan segera menangkap pinggang Mei. Mengalungkan tangannya ke pinggang gadis itu erat-erat dari arah belakang. Tujuannya hanya satu, agar Mei tak bisa lari.
Membeku, Ya bagaimana tidak. Kai dengan seenaknya mengalungkan tangannya ke pinggang Mei. Bukan hanya tidak bisa lari, Mei jadi tidak bisa menetralkan detak jantungnya dengan baik.
"Pak, bisa lepas nggak?" kata Mei sedikit canggung. Detak jantungnya sedikit tak normal sekarang.
"Nggak!" tegas Kai, tak lama pria dengan tangan yang masih terkalung di pinggang seorang gadis itu berjalan menghampiri sebuah pohon rimbun. Pohon yang dirasa cukup aman untuk berteduh dari hujan
"Hujan itu nggak baik buat kesehatan!" kata Kai setelah sampai di bawah pohon tinggi menjulang itu.
Mei mendengus, "Kata siapa?"
"Kata saya," balas Kai dengan tangan yang masih mengalung erat di pinggang Mei.
Yang bisa dilakukan Mei hanyalah diam, meski jantungnya saat ini berdegup begitu cepat. Bagaimana lah ini? Kai tidak mau melepaskan pinggangnya.
"Pak bisa ngg--"
Belum sempat meneruskan kalimatnya, Mei dibuat diam saat Kai tak sengaja meletakkan dagunya di bahu Mei. Astaga! Apa maksudnya?
Angin berderu kencang saat itu, pohon-pohon yang menjulang tinggi di sekitarnya bergoyang-goyang, langit yang kini menumpahkan air itu lebih muram dari semula. Gelap, angin berdesir menerbangkan rambut Kai dan Mei.
Mei masih tak habis pikir dengan tingkah Kai. Apa yang terjadi dengan Kai? Mei kini bisa merasakan tubuh pria itu sedikit bergetar.
"Jangan bergerak ... saya mohon!" ujar Kai, nada bicaranya terdengar bergetar. Pria itu memeluk pinggang Mei lebih erat. Wajahnya ditenggelamkan di bahu Mei.
"Pak Kai kenapa?" tanya Mei cemas.
"Ge ... lap saya ngggak su ... ka," ujar pria itu sedikit terbata.
Phobia gelapnya kambuh ternyata, Mei mengangguk paham. "Pak, gelap itu bukan ancaman, gelap itu cuma sebuah perjalanan untuk mencari penerangan. Bapak tau nggak? Gelap adalah awal dari datangnya sebuah cahaya."
Entahlah, yang dilakukan Kai hanyalah diam memeluk pinggang Mei erat, sembari menenggelamkan wajahnya. Bukan modus, ia hanya takut. Ia sungguh takut dengan gelap, bukan hanya takut melainkan benci.
Mei tak menyerah, ia masih tetap ingin menguatkan Kai. "Bapak tau? sebelum suka hujan Mei juga pernah benci sama hujan."
"Asal bapak tau, awal mula Mei suka hujan itu dari kemarahan dan kebencian Mei terhadap hujan," lanjut Mei.
"Ma .. maksudnya?"
"Dulu, kedua orang tua Mei meninggal saat hujan. Waktu itu umur Mei masih lima tahun. Hujan itu datang pas banget waktu Mei mau datang ke resital biola. Meski Mei nggak maksa, Bunda sama Ayah ngotot banget mau ngantarin Mei ke sana. Dan akhirnya Bunda sama Ayah nganterin Mei dengan mobilnya. Tapi nggak mudah nyetir di dalam mobil pas hujan lagi deras-derasnya. Apa lagi jarak pandang jadi nggak jelas. Sampai akhirnya kecelakaan itu pun terjadi ... Bunda sama Ayah pergi." Mei mengakhiri ceritanya, ia masih ingat jelas dengan kejadian tersebut.
Kai menelan ludah, kenapa? Kenapa gadis ini harus menerima takdir pahit itu? Kenapa takdir begitu kejam terhadap Mei? Dan lihat sekarang, kenapa gadis ini bisa sangat riang? Bagaimana ia bisa melewati semua kesedihan itu?
"Karna kejadian itu Mei benci dan marah sama hujan. Tapi perlahan saat Mei menerima kejadian itu, rasa benci itu luntur jadi rasa suka." Mei menyentuh lengan Kai, berusaha memberikan kekuatan.
Kai melepas tangannya dari pinggang Mei. Berusaha berdiri tegak untuk memandang langit gelap mencekam itu. Terbesit sedikit rasa takut di dalamnya, namun sekali lagi ia membenci gelap. Benar, seharusnya rasa benci itu bisa menentang segala rasa takutnya.
Menguatkan diri, Kai menengadah ke atas, dengan segala kebenciannya Kai menatap langit gelap itu nyalang. Berhasil, Kai dapat menatapnya, kali ini tidak ada lagi rasa takut. Tidak ada lagi pingsan ataupun sesak napas saat melihat sekelilingnya gelap. Kai berhasil mengalahkan ketakutan terbesarnya.
Tersenyum, Kai memandang Mei penuh penghargaan. Refleks saja Kai memeluk gadis itu erat. Mei kaget, wajahnya bertabrakan dengan dada bidang Kai.
Tak berselang lama, sebuah mobil sedan muncul ke arah keduanya. Itu mobil Alex, Kai menyeringai saat Alex keluar dari mobilnya dengan muka masam.
Ya, hari ini mungkin Kai berhasil mengalahkan dua ketakutan terbesarnya. Takut akan gelap, dan takut jika gadis riangnya diambil Alex.
*****
Tbc ...
Menurutmu lo cerita ini masuk akal ga sih?
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, Bapak Muka Datar (COMPLETE)
General FictionKALO LU BAPER GUA NGGAK NANGGUNG! Judul : Dear, Bapak Muka Datar Genre : romance/slice of life Status : TAMAT Meski Kai disebut siluman es batu, tapi jangan salah, hatinya Kai itu kadang sehangat kompor gas. Disuruh ngebunuh nyamuk aja nggak tegaan...