Gaun putih sang pengantin wanita terlihat amat elok, rambut hitam pekatnya tergerai indah, ditambahkan riasan make-up natural yang membuatnya terlihat begitu cantik. Di sebelahnya, sang pengantin pria terlihat begitu menawan dengan tuksedo hitam bergaris-garis merah, serta rambut yang tertata rapi.
Senyum manis mengembang dari kedua pasangan pengantin itu. Keduanya duduk di pelaminan. Sementara para tamu undangan duduk di kursi-kursi yang telah disediakan.
Deretan pohon pinus yang tumbuh tinggi menjulang membuat suasana sejuk. Kursi beserta meja yang didominasi warna cokelat membuat pemandangan semakin elok.
Rangkaian bunga putih menghiasi sekitar pelaminan. Lampu-lampu kecil mengantung di langit-langit. Gunung Pancar saat itu dipenuhi dengan wajah-wajah bahagia.
Kai sendiri, dari tadi masih tak bisa mengalihkan pandangannya dari Mei. Entah berapa lama, tapi Kai tak bosan-bosannya memandang wajah istrinya.
Sadar jika sedari tadi dipandangi Kai, Mei segera menyikut lengan Kai.
"Apa?" tanya Kai.
Mei menatap Kai sebal. "Kenapa sih, dari tadi ngeliatin Mei mulu?"
"Nggak papa," jawab Kai, dengan pandangan yang tak berpaling dari wajah Mei.
"Udah, jangan diliatin terus, Mei kan malu," cicit Mei, menahan rona merah di wajahnya.
"Nggak usah malu sama suami sendiri."
Mei berdecak, "pliss, jangan diliatin terus!"
"Nggak bisa sayang! Ngeliat muka kamu itu bikin candu."
Astaga! Kenapa sih, Kai bertingkah begini? Muka Mei yang telah merah bertambah merah lagi. Malu rasanya dipanggil dengan sebutan "sayang".
Namun, untungnya saat itu ada dua orang tamu yang datang. Membuat atensi Mei dan Kai teralihkan.
Kalian tau siapa yang datang? Dia adalah Sofi dan Alex. Keduanya datang bersama. Mei tersenyum ke arah kedua orang itu.
Sementara Kai, pria itu langsung mengeluarkan ekspresi kebanggaannya. Ekspresi muka datar.
"Selamat ya kalian berdua, semoga hidup berbahagia," ucap Alex, hendak menjabat tangan Mei.
"Makasih Pak Alex atas doanya," balas Mei, tangannya juga hendak balas menjabat tangan Alex.
Namun, sebelum tangan Mei menyentuh tangan Alex, Kai dengan cekatannya mengenggam tangan Mei. Pertanda jika ia melarang istrinya untuk menyentuh brengsek sialan itu.
Alex mendadak canggung, lalu dengan segeranya pria itu menurunkan tangannya.
Sofi yang berdiri disebelah Alex berdehem, sedikit mencairkan susana canggung.
"Selamat atas pernikahannya! Semoga kalian selalu bahagia!" ujar Sofi, membuat Mei kembali tersenyum.
"Makasih doanya Bu," balas Mei. Semantara Kai tetap dengan muka andalannya. Muka datar.
Sofi tersenyum setulus mungkin. Menatap Mei dengan tatapan bersahabat.
"Cepet nyusul ke pelaminan ya Buk," celetuk Mei, membuat Sofi terkekeh.
"Iya, mungkin sebentar lagi," balas Sofi.
"Yaudah kita berdua mau ke sana dulu ya Mei?" itu ucapan Alex. Pria itu menatap Mei lamat-lamat lalu akhirnya pergi meninggalkan Mei.
Sofi mengikuti langkah Alex. Berjalan meninggalkan Kai dan Mei bersamaan. Mei menatap punggung dua orang itu. Dalam benaknya Mei berdoa, "semoga Bu Sofi dan Pak Alex selalu bahagia."
Sedangkan Kai, pria itu menatap Mei dengan tatapan sebal. Ia tak suka istrinya bersikap terlalu baik pada Alex brengsek itu.
"Kenapa?" Mei yang menyadarinya segera balas menatap Kai dengan tatapan heran.
Kai berdecak. "Nyebelin banget nggak sih?"
"Apanya yang nyebelin?"
"Kamu."
"Kenapa? Mei nyebelin ya? Maaf."
"Aku nggak mau maafiin kamu."
Mei menatap semakin heran. "Ihh, emang sejak kapan manggilnya pake aku-kamu?"
"Kenapa? Memangnya nggak boleh?" ketus Kai dengan tatapan sebal.
"Ya, aneh aja. Kan biasanya pake saya-kamu."
Mendengus. Kai memasang wajah cemberutnya.
Mei terkekeh melihat wajah cemberut itu. "Udah, jangan marah ya sayang."
Singkat, tapi berhasil membuat Kai membelalakkan mata. Apa? Apa yang barusan Mei bilang?
"Coba ulang kalimat kamu tadi," pinta Kai.
"Kalimat yang mana?"
"Yang tadi."
"Kenapa harus diulang?"
"Udah ulang aja, cepetan!" paksa Kai tak sabar.
"Tapi kenapa harus diulang sih?!"
"Ulang aja cepet!"
Demi melihat wajah suaminya yang merengut kesal itu Mei menurutinya.
"Jangan marah ya sayangku," ulang Mei.
Sedetik, Kai terdiam. Pria itu menyentuh dada kirinya. Jantungnya berdegup begitu cepat. Sial! Bisa-bisanya ia dibuat begini.
Kai menatap Mei intens. "Tapi ... meski kamu bilang gitu, aku masih marah sama kamu."
"Yah ... kenapa marah? Jangan ngambek ah," pujuk Mei.
"Marahnya akan selesai dengan satu syarat."
"Apa syaratnya?"
"Cium dulu." Kai menunjuk bibirnya.
"Ihh apa sih? Malu tau, malah di tempat umum lagi," omel Mei.
"Pokoknya nggak mau tau, harus cium dulu."
"Ih ... enggak ah."
"Ya udah terserah kamu."
Mei menghela napasnya. Kenapa Kai bertingkah kekanak-kanakan sih?
Kai tetap dalam wajah cemberutnya. Mei merutuk dalam hati. Di sisi lain ia ingin membuat Kai tak lagi cemberut, tapi di sisi lainnya pula Mei malu mau mencium duluan.
Jadi ia harus apa?
Sambil berpikir, Mei tersadar jika Kai memperhatikan dirinya sejak tadi. Mei menautkan alis, kenapa dengan Kai?
Sebagai balasan Kai justru mendekatkan wajahnya ke arah Mei. Sangking dekatnya hidung Kai bersentuhan dengan hidung Mei.
Sekian detik, satu tangan Kai mengarah memegang pinggang Mei, sementara tangannya yang lain mencengkram pundak Mei.
"Kena--"
Belum sempurna kalimat itu keluar dari mulut Mei. Kai sudah duluan mencium bibir Mei lembut.
*****
Tbc ...
Mabok gua nulisnya😭😭
Vote+koment
Follow akun wp gue
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, Bapak Muka Datar (COMPLETE)
General FictionKALO LU BAPER GUA NGGAK NANGGUNG! Judul : Dear, Bapak Muka Datar Genre : romance/slice of life Status : TAMAT Meski Kai disebut siluman es batu, tapi jangan salah, hatinya Kai itu kadang sehangat kompor gas. Disuruh ngebunuh nyamuk aja nggak tegaan...