"LEAVING FROM LOMBOK"

156 19 1
                                    

Aku dan Chris ditemukan sudah tidak sadarkan diri oleh rombongan. Awalnya tidak ada yang menyadari kalau kami memisahkan diri dari rombongan. Sampai pada titik pemberhentian selanjutnya kami tidak kunjung tiba setelah hampir setengah jam. Pada mulanya Hannah masih berpikir positif mungkin saja aku dan Chris kembali bertengkar sepanjang jalan sehingga kami tertinggal di belakang. Tapi kemudian Jimmy melihat ada cahaya seperti sinar laser yang ditembakkan ke angkasa. Dari situ dia tahu kalau itu adiknya dan sedang dalam masalah.

Segera saja mereka melakukan pencarian. Dan berkat tanda 'kelinci' yang ditinggalkan oleh Chris yang sepertinya hanya Jimmy yang bisa mengetahui kalau itu adiknya, aku dan Chris akhirnya bisa cepat ditemukan. Mereka bilang kami beruntung, tempat dimana kami ditemukan adalah daerah yang hampir tidak pernah di jamah oleh pendaki karena banyaknya mitos mengenai tempat itu. Juga tak lama setelah kami ditemukan, tiba-tiba ada helikopter yang terbang rendah dan mendarat di tempat dimana aku dan Chris berada sehingga kami bisa segera dievakuasi. Rupanya sinar laser yang diletakkan Chris di atas pohon terdeteksi sebagai sinyal darurat sehingga mengundang helikopter penyelamat tersebut untuk mendekat. Kurasa aku harus berterimakasih padanya jika bertemu nanti meskipun aku tidak yakin dia masih di Indonesia. Sejak kejadian tiga hari yang lalu, aku belum melihatnya dan selama itu sama sekali tidak ada yang menyinggung namanya. Kuharap semua orang tidak menyalahkannya atas apa yang telah terjadi.

Aku berjalan menuju jendela kaca, menyibak tirai dan melihat keluar. Kamarku dengan kamarnya kebetulan berseberangan jadi kadang sesekali aku bisa melihat dia yang terkadang duduk sendirian dengan tatapan melamun atau mendengar dia berbicara dengan seseorang di ponsel dan hal lainnya.

Seseorang mengetuk pintu, beberapa detik kemudian Hannah muncul dengan sebuah box di tangannya.

"Sudah siap?" dia bertanya sambil berjalan menghampiriku.

Aku mengangguk. Dia lalu mengeluarkan beberapa alat dari dalam box yang dibawanya itu. Aku meringis saat dia mulai menusukkan jarum suntik di lenganku dan menyedot beberapa mili darah dari sana. Setelah itu dia menggenggam tanganku dan berkata, "Thank you for staying alive,"

Aku mengangguk.

"And for everything you've done for Jimmy and I,"

Aku mengangguk lagi.

"Say something, please!"

Aku tertawa melihat ekspresi Hannah yang seperti anak kecil yang sedang ngambek karena tidak boleh main layangan.

"Gue sangat sangat bangga menjadi bagian dari kesuksesan kalian." Kataku akhirnya. "Siapa tahu nanti nama gue disebut-sebut di berbagai forum diskusi ilmiah internasional dan dicatat dalam sejarah," Aku mengembangkan senyum.

Kedua mata Hannah berkaca-kaca. Dia lalu meraih bahuku dan memelukku.

"You almost there." Bisikku di bahunya.

Memang sudah sejak beberapa tahun belakangan ini aku dan beberapa anggota keluarga besarku menjadi objek penelitian Hannah dan suaminya yang memang mengambil studi Biologi Molekuler. Aku bertemu dengan Hannah untuk pertama kalinya di KBRI saat perayaan idul fitri pertamaku di Inggris.

Hannah yang saat itu sedang mencari bahan penelitian untuk tugas akhirnya sempurna bertemu denganku. Aku memiliki semacam kelainan bawaan yang akan muncul di saat-saat tertentu. Jangan khawatir, itu tidak menular. Di saat-saat tertentu seperti ketika aku merasa terlalu senang atau terlalu sedih atau ketika berada di situasi yang ekstrem tubuhku akan bereaksi seperti pusing, kesulitan bernapas persis seperti serangan asma yang jika tidak segera ditangani akan menyebabkan tidak sadarkan diri. Untuk kasus terparah bisa menyebabkan gangguan kinerja jantung seperti yang terjadi pada nenekku.

Setelah berkonsultasi dengan dokter, aku hanya diberi obat yang hanya boleh dikonsumsi ketika aku mengalami situasi itu. Mereka bilang situasi yang kualami tergolong sangat langka dan belum ada satupun literasi yang menyebutnya. Padahal hal seperti ini sudah terjadi secara turun termurun di keluargaku. Memang tidak semua, hanya anak pertama perempuan dari garis keturunan ibuku lah yang mengalaminya.

Keterbatasan akses informasi serta ketidakterbukaan pada akhirnya membuahkan kesimpulan jikalau hal tersebut adalah sebuah kutukan turun temurun dari nenek moyang. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan kepercayaan seperti itu akan tetapi tidak salah juga jika dilakukan pendekatan secara ilmiah, seperti yang sedang dilakukan oleh Hannah.

Sebagai hasilnya, Tiga setengah tahun kemudian Hannah dan Jimmy berhasil menciptakan sebuah serum yang diharapkan bisa mengurangi gejala atau bahkan bisa menghilangkannya sama sekali. Mereka mengirimkannya padaku dua bulan sekali. Aku merasakan efek yang luar biasa, puncaknya adalah kejadian tiga hari yang lalu. Tubuhku tidak bereaksi seperti biasanya, yang terjadi padaku adalah murni hipotermia. Sampai saat ini mereka masih terus melakukan penelitian. Setahuku mereka membuka semacam Crisis Center bagi orang-orang yang memiliki kondisi yang mirip denganku. Sebenarnya penelitian mereka dikatakan berhasil jika aku menikah dan anak pertamaku perempuan dan dia bebas.

"Sulit, sulit itu sulit..." Kelakarnya pada saat itu.

"Ladies, everything is oke?"

Satu suara tiba-tiba mengagetkan kami. Jimmy bertanya dari ambang pintu dengan kedua alis bertaut.

"Everything is oke, honey."

Jawab Hannah sembari menutup boxnya.

"Oke, mari bersiap-siap. Long drive ahead." Usul Jimmy sambil mengambil koperku tanpa kuminta. Namun sebelum mereka meninggalkan kamar, aku menghentikannya dengan satu pertanyaan.

"Chris baik-baik aja kan?"

Aku melihat Hannah dan Jimmy saling berpandangan membuatku mencurigai sesuatu. Tapi dengan cepat Hannah menjawab.

"Ya, tentu!"

"Don't worry about him, Diana. Dia sedang mendengkur di kamarnya. Sebaiknya kita cepat-cepat pergi dari sini atau dia akan mengganggumu lagi." Jimmy menambahkan diikuti tawa di akhir kalimatnya.

Meskipun aku merasa seperti ada yang mereka sembunyikan dariku, aku memutuskan untuk menerima jawaban mereka tanpa banyak bertanya lagi. Setelah berpamitan kepada keluarga Hannah, akhirnya kedua pengantin baru itu mengantarku ke Bandara Lombok Praya untuk kembali ke Jakarta, menghadapi kenyataan, salah satunya bahwa hubunganku dengan Alvin tidak akan pernah lagi sama. Bahwa mimpiku untuk bisa menikah dengannya sudah tidak lagi ada.

***

After Their WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang