SAMBUTAN HANGAT DI ISTANA

86 11 1
                                    

Yang berdiri di depanku sekarang adalah sebuah rumah yang sangat besar dengan halaman yang sangat-sangat luas dengan dua air mancur besar di kanan-kirinya. Aku memutar tubuhku berkeliling. Desain rumah ini seperti rumah-rumah bangsawan di filem-filem period classic. kastil yang berdiri megah di tengah hamparan tanah yang tertutup rumput yang sangat luas yang dikelilingi pepohonan lebat serta jauh dari pemukiman warga. Sebagaimana kastil yang pernah kulihat di beberapa tempat di Eropa, rumah yang sudah seperti istanan ini memiliki arsitektur yang sangat indah dengan beberapa menara khas menjulang tinggi yang membuatnya terlihat persis seperti kastil-kastil di cerita-cerita dongeng. Aku hampir tidak percaya dengan apa yang kulihat, kupikir kastil seperti ini hanya ada di Eropa sana. Saat aku mengetahui kenyataan bahwa Alvin adalah seorang crazy rich, aku tidak menyangka kalau rumahnya akan sebesar dan semegah ini.

"You must be kidding me." kataku sambil menggelengkan kepala saat dia menghampiriku setelah sebelumnya terlihat berbincang-bincang dengan seseorang di dekat kolam air mancur. Mungkin tukang kebun, karena terlihat membawa peralatan berkebun.

Dia hanya tersenyum, lalu menggeleng.

"Ayo kita masuk!" serunya.

Aku memperbaiki posisi tasku lalu berjalan mengekor di belakangnya. Aku tidak bisa menyembunyikan rasa takjubku saat mulai masuk ke dalam. Ini bukan rumah, tapi istana. Aku serasa seperti sedang tur ke dalam istana-istana di Eropa. Siapapun yang mendesain rumah ini, tidak diragukan lagi dia memiliki selera seni yang sangat tinggi.

"So, this is where you grew up?"

Aku bertanya sembari memandang berkeliling. Untuk diketahui, berdasarkan informasi yang tertera di Kartu Tanda Penduduknya, Alvin lahir di Irlandia Utara. Karena urusan pekerjaan, orang tuanya pergi ke Inggris di awal-awal pernikahan mereka dan terjebak disana selama lebih dari lima tahun karena terjadi konflik. Konon dia lahir di camp pengungsian saat konflik sedang sengit-sengitnya dan dibantu oleh seorang tentara bernama William. Orang tuanya menyematkan William di namanya sebagai bentuk rasa terimakasih juga untuk mengingat jasanya yang begitu besar itu.

"Yep." Alvin menjawab sambil terus berjalan, beberapa kali menaiki tangga lalu menyusuri koridor yang entah dimana ujungnya. Lalu satu pertanyaan muncul di kepalaku. Dengan semua ini, kenapa Alvin malah memilih meniggalkan rumahnya, datang ke Jakarta dan bekerja sebagai abdi negara dengan gaji yang amat sangat tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan apa yang dia miliki. Oh iya aku ingat sekarang, dulu sekali dia pernah mengatakan ini saat Andre menyinggung-nyinggung soal kehidupan para ningrat di negeri ini.

"What is a good wealth and luxury when there's no true happiness."

Alvin tidak bahagia? Oh, ya Tuhan, Andre, mungkinkah dia sudah tau tentang semua ini? Dia memang pernah beberapa bulan tinggal di apartemen Alvin jadi kemungkinan besar dia sudah tahu. Jika benar, sahabat macam apa mereka ini, hanya aku yang tidak tahu?

Ngomong-ngomong kemana sebenarnya ujung perjalanan kami ini, aku tidak tahu sudah berapa ratus langkah kami berjalan tapi belum juga sampai pada tujuan. Aku jadi penasaran ada berapa banyak orang yang tinggal di rumah ini karena dari tadi aku berkali-kali berpapasan dengan orang yang berbeda-beda baik bentuk fisik dan pakaiannya.

"Ayah gue mengendalikan seluruh bisnisnya dari sini, jadi jangan heran kalau banyak orang berlalu lalang."

Alvin tiba-tiba menjelaskan seolah bisa menebak apa yang sedang kupikirkan. Aku mengangguk saja sambil membentuk huruf O di bibirku sementara dia menoleh lalu tersenyum entah apa maksudnya.

Saat hampir sampai di persimpangan koridor, dia menghentikan langkahnya dan mengobrol dengan seseorang, setelah itu dia membalikkan badannya menghadapku.

After Their WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang