CINCIN 250 JUTA

134 15 5
                                    

Aku berjalan setengah lari menuruni tangga menuju lantai satu sembari menggerutu tentang orang-orang yang sudah kehilangan kewarasan karena senang merampas hak jam istirahat pegawai untuk menyelesaikan pekerjaan kantor yang tidak akan ada habisnya. Pegawai itu juga manusia yang butuh makan, butuh istirahat, sekadar meregangkan otot-otot yang tegang, refreshing dan lain sebagainya, bukan martir. 

Aku sebenarnya masih harus meneruskan rapat yang sudah berjalan sejak pukul delapan pagi tadi. Karena rapat berjalan alot dan sepanjang empat jam yang seharusnya aku sudah bisa menyelesaikan laporan perjalanan dinasku ke Singapura tempo hari, malah kuhabiskan untuk menyaksikan keegoisan para pejabat yang kalau dipikir-pikir malah lebih mementingkan kepentingan pribadi dan golongan dari pada kemaslahatan umat. 

Maka ketika sudah waktunya jam istirahat dan tidak ada satupun yang beranjak dari ruang rapat, aku mencoba mencari alasan untuk keluar. Izin ke toilet adalah ide yang buruk, jadi diam-diam aku mengirim pesan kepada Chris untuk menghubungiku dan berbicara seolah-olah dia adalah Mitra Kerja yang sedang membutuhkanku untuk menganalisis sistem yang sedang mereka buat. Berkat kemampuan aktingnya yang memukau dia berhasil menyeretku tidak hanya keluar dari ruang rapat akan tetapi juga keluar kantor.

"Cepat cepat cepat!" sergahku saat sudah duduk di kursi sisi penumpang di dalam mobil kodok tuanya.

"Apa yang terjadi?" Chris di sebelahku bertanya dengan wajah bingung.

"Jalan dulu jalan," pintaku sembari menelisik ke seluruh penjuru memastikan tidak ada orang dari divisiku yang melihatku kabur.

Aku menyandarkan tubuhku ke belakang dan mengeluarkan napas dengan berlebihan merasa lega karena akhirnya bisa meloloskan diri dari belenggu, saat mobil yang kami tumpangi sudah keluar menuju jalan raya. Untuk sesaat aku melamun, teringat hal ini yang dulu sering aku lakukan bersama Alvin jika sudah jenuh dengan perdebatan tentang siapa yang harus mengambil keputusan, tentang apa yang harus diputuskan dan lain sebagainya yang berurusan dengan pekerjaan kantor yang menguras segalanya yang kita punya. Tapi bagaimanapun melelahkannya, inilah resiko yang harus aku terima sejak hari dimana aku memutuskan untuk menerima penggilan pulang negara yang secara terhormat memintaku dan beberapa temanku untuk kembali pulang ke Indonesia dan bergabung dengan pemerintah membangun negara ini menjadi lebih baik. Pada saat itu sebenarnya aku sedang menjalani proses magang di sebuah Lembaga Antariksa yang berpusat di kota Washington, D.C., saat aku kedatangan beberapa orang dari KBRI yang menyerahkan surat yang ditulis langsung oleh Istana. Aku ingat kalimat pertama yang aku baca yang membuat dadaku bergetar dan air mataku langsung merembes keluar.

"Yth. Ananda Aisyah Puteri Diana"

"Hei?"

Suara Chris serta colekan di bahuku berhasil membuyarkan lamunanku. Aku mengerjap, sementara Chris sudah menatapku dengan kening berkerut.

"Apa yang terjadi?"

"I'm running from people."

Chris menyipitkan matanya "Kuharap kamu punya alasan yang bagus telah melibatkanku dalam tindakanmu yang tak terpuji ini."

Aku melebarkan mata, tidak terima dengan tuduhannya yang menganggap tindakanku tak terpuji.

"Apa orang-orang penting di kantormu sering merampas waktu istirahatmu untuk urusan pekerjaan?"

"Sometimes," dia berhenti sejenak lalu melanjutkan. "Tapi mereka mendapat keuntungan yang sepadan setelah itu."

"Itu yang nggak kudapatkan."

"Jadi kamu lari dari mereka yang merampas hak istirahatmu?"

Aku mengangguk. "Salah?"

"Kurasa kamu tidak salah," dia kembali menatap ke depan. "Jadi kita mau kemana?"

After Their WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang