RINJANI

260 19 1
                                    

Hal berikutnya yang kutunggu-tunggu dari "pelarianku" ke Lombok setelah pernikahan Hannah adalah mendaki Gunung Rinjani. Sebenarnya aku selalu takut dengan hal-hal seperti itu. Membayangkan berada di tengah hutan belantara dengan rute yang tidak mudah tentu saja, gelap, dingin, belum lagi ketemu ular, kelabang, kaki seribu, lintah dan hal lainnya yang ngeri jika kubayangkan.

Sebulan lebih Hannah dan Jimmy membujukku, meyakinkanku bahwa mendaki gunung itu tidak semenakutkan itu. Menjanjikan hal-hal yang indah yang akan aku temui disana yang akhirnya mendorongku untuk membuka mesin pencarian, mengetikkan kata gunung Rinjani dan hasilnya, wow, sangat menakjubkan. Lalu kupikir tidak ada salahnya mencoba, meskipun masih ada sedikit keraguan. Sedikit.

"Masih ragu ya?"

Tanya Hannah tiba-tiba. Aku yang saat itu sedang berusaha menjejalkan beberapa barang ke dalam ranselku yang sudah hampir penuh itu hanya meringis.

"Dikit."

"What's you afraid of? It's just mountain."

Aku mendengar suara bernada sarkasme itu. Aku melirik ke arah bocah Inggris yang saat itu sedang memakai sepatu gunungnya dan kulihat senyumnya yang mengejek itu. Diana, tidak usah didengarkan. Aku membatin.

Hannah yang menyadari perubahan moodku langsung berusaha mengatasi suasana.

"Honey, could you please tell him to stop disturbing Diana?" seru Hannah pada suaminya yang saat itu sedang mengemasi perlengkapan untuk mendaki kami semua. Tanpa ba-bi-bu Jimmy langsung memutar kepalanya ke arah dimana adiknya itu berada.

"Honey, could you please stop disturbing Diana?"

Serunya menirukan ucapan Hannah lalu kembali fokus dengan kesibukannya. Aku menahan tawa melihat itu, apalagi melihat wajah Chris yang terlihat kesal. Dia lalu beranjak dari duduknya berjalan menuju mobil. Sama sekali tidak membantu kakaknya mengemasi barang-barang. Pidatonya kemarin yang luar biasa itu rupanya hanya omong kosong belaka.

"Gue rasa masa kecilnya kurang bahagia." gumamku.

"I heard you!"

Dia berseru dari jarak sepuluh meter dari tempat dimana aku dan Hannah berada. Kulihat tangannya memasukkan selembar kertas yang sudah dilipat entah empat atau lima ke dalam saku celananya.

Hannah hanya tersenyum sambil geleng-geleng kepala, heran karena sejak pertama bertemu, kami tidak pernah akur.

Jimmy mendekat lalu menepuk bahuku.

"Don't take it personal, oke? He is just looking for your reaction." ucap Jimmy membesarkan hatiku atas perilaku adiknya yang entah kenapa selalu menyebalkan terhadapku.

"Don't worry, he is not going to get one from me."

Timpalku sembari berusaha memaksa menjejalkan satu buntelan lagi ke dalam ransel yang sudah sangat over capacity. Hannah yang melihat itu langsung menyambar buntelan dari tanganku tanpa permisi dan berseru ke suaminya yang saat itu sedang berjalan ke arah mobil sambil menenteng sesuatu seperti karpet yang digulung.

"Honey, is there any space available in your backpack?"

Jimmy membalikan badannya dan melihat buntelan yang dipegang Hannah.

"Yes, just put them in."

Aku sungguh takjub melihat pasangan pengantin baru itu. Mereka terlihat amat sangat serasi. Hannah yang cenderung cerewet sempurna bertemu dengan Jimmy yang kalem dan kebapakan. Tatapan mereka penuh cinta, jelas sekali kalau Jimmy begitu mencintai Hannah begitupun sebaliknya.

Seandainya Chris sedikit saja memiliki sifat seperti kakaknya, pasti... no, no, no, kenapa aku membanding-bandingkan Chris dengan Jimmy, apa aku sudah tidak waras? Aku mengetuk-ngetukan kepalaku menyingkirkan pikiran itu.

After Their WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang