"IT'S HER"

170 20 1
                                    


"Diana, buruan gue udah di bawah."

Pesan Rina, teman sekantorku, mendarat sepuluh detik yang lalu. Buru-buru aku menyapukan lipstik sekenanya, mematut diri di depan cermin selama lima detik, menyambar tas lalu segera keluar. Baru dua hari yang lalu aku kembali dari ombok setelah menghadiri pesta pernikahannya Hannah, hari ini rupanya aku kembali harus menghadiri pesta pernikahan temanku yang lain. Ternyata nggak hanya buah saja yang musim.

Begitu aku sampai di tempat dimana Rina berada, dia menatapku dari atas ke bawah lalu ke atas lagi.

"What?" Tanyaku mengikuti arah pandang Rina mencari-cari apa yang salah denganku.

"Diana sayang, kita mau kondangan bukan mau nge-mol." Jawabnya sembari menggelengkan kepalanya.

Aku menunduk. Apa yang salah? Aku memakai setelan celana kulot warna salem, atasan putih dipadukan dengan outer dengan warna senada. Aku mau kondangan bukan fashion show. Datang, salam-salaman, makan lalu pulang. Tentu saja salam-salaman dan makan boleh ditukar urutannya tergantung situasi dan kondisi. Lagi pula ini acara resepsi pernikahannya Rai, temanku yang cuek secuek-cueknya soal penampilan. Kurasa penampilanku tidak akan menjadi masalah. Dia pasti tidak akan keberatan soal baju yang aku pakai. Namun sebelum aku mengatakan sesuatu, Rina sudah menyeret tanganku kembali ke apartemen dan tanpa persetujuanku langsung mengaduk seisi lemari.

"Rai emang selengekan, tapi suaminya sepupu menteri, resepsinya di hotel bintang lima, yang dateng dari presiden sampek kroco kayak kita. Lo nggak mau kan tiba-tiba besok lo dilempar ke daerah antah berantah sana karena salah kostum?"

Rina menjelaskan sembari menyapukan make-up yang selalu dia bawa kemana-mana itu ke wajahku. Kurasa imajinasinya terlalu berlebihan, mana ada dimutasi hanya karena salah kostum kondangan. Kalau sampai ada, akan aku viralin.

"I'm not fashion forward, you know that." Kataku membela diri. "Lo tahu sendiri, mana ngerti gue sama hal-hal kayak begini."

"Lo belajar sama gue."

"Dih, males." Aku mencibir.

Sementara Rina terkekeh.

"Lagi pula nih ya, siapa tahu ntar lo ketemu jodoh disana. Anak presiden misalnya, mana tahu nemenin bapaknya. Terus nggak sengaja bersitatap sama lo terus-"

Sebelum Rina berkhayal lebih jauh. Aku mengulurkan tanganku dan mendaratkan telapak tanganku di wajahnya. "Halu!"

Rina tertawa sembari menepis tanganku lalu melanjutkan ledekannya.

"Atau siapa tahu mas-mas kateringnya cakep."

"Diem ah!"

Acara permak mempermak selesai juga. Aku dan Rina sampai di lokasi resepsi setengah jam kemudian.

Alamak, Rina tepat sekali, aku tidak menyangka sekaligus tidak percaya kalau resepsi pernikahan temanku yang selengekan itu akan semewah ini. Sebenarnya dari awal tidak ada yang menyangka kalau Raihaanun akan menikah dengan Raden Vidia Haryosuseno, si sepupu menteri. Sifat keduanya sangat bertolak belakang. Vidia yang tenang dan kalem bertemu dengan Rai yang petakilan, tomboi, kalau bicara kadang tidak disaring, kalau sudah ketawa kadang tidak ada filternya. Pokoknya dua insan itu bagai langit dan bumi. Namun kembali lagi, jodoh siapa yang tahu.

Disaat aku sedang sibuk mengagumi penampilan Rai di pelaminan itulah, Rina tiba-tiba menyikutku.

"Sst!"

Aku terkesiap lalu menoleh mengikuti arah pandangnya. Saat itu untuk pertama kali aku melihatnya sejak insiden beberapa waktu yang lalu itu, Alvin. Aku tahu bukan kedatangan Alvin yang membuat Rina sampai harus menyikutku, melainkan seseorang yang datang dengannya.

It's her!

Kulihat Alvin menyalami teman-temanku yang lain sembari memperkenalkan perempuan yang datang bersamanya. Cantik, semampai, rambut panjang ikal kecoklatan dengan kulit sawo matang, mata yang tajam dan hidung yang mancung. Aku bisa melihat bagaimana reaksi orang-orang, terkejut sekaligus kagum.

"Hai, aku Julie..."

Samar-samar kudengar dia memperkenalkan dirinya dengan suara yang pelan nan lembut. Aku masih melamun saat dia akhirnya mengulurkan tangannya padaku. Aku tersadar beberapa detik kemudian dan segera mengendalikan diriku lalu menyambut uluran tangannya.

"Diana," Kataku akhirnya sambil tersenyum seramah, senormal mungkin. Meskipun tidak jelas, aku bisa melihat perubahan ekspresi di wajah Julie saat aku menyebutkan namaku. Sebelum aku bisa menangkap apa artinya itu, Alvin sudah menyela dan menjauhkannya dariku.

Alvin tidak menyapaku sama sekali. Hal itu membuatku semakin merasa tidak keruan. Tidak bisakah dia bersikap biasa saja kepadaku? Meskipun hal itu tidak akan mengubah keadaan setidaknya aku merasa dianggap keberadaannya dan mungkin aku tidak akan merasa sesakit ini.

Dua minggu lalu Alvin baru saja menolakku dan sekarang dia muncul dengan seroang perempuan tanpa mengatakan sepatah katapun seperti menyapa atau apa? Apa dia sudah tidak punya perasaan?

"Kalian baik-baik aja kan?" Rina bertanya dengan meninggikan sebelah alisnya, sepertinya dia curiga dengan situasi yang sedang terjadi diantara aku dan Alvin.

"Hm?"

Aku menoleh ke arah Rina, bukan karena tidak mendengar namun sedang mengulur waktu untuk memikirkan jawaban apa yang sebaiknya kuberikan padanya.

"Lo sama Alvin baik-baik aja kan?"

Pastinya Rina tidak akan percaya begitu saja kalau aku menjawab baik-baik saja sementara gerak-gerik Alvin begitu mudah dibaca, namun aku juga tidak ingin memberitahu yang sebenarnya. Karena itulah aku hanya mengangkat bahu berharap Rina tidak bertanya lebih jauh. Beruntung saat itu terdengar pengumuman bahwa kami, teman-teman Rai, mendapat giliran untuk foto dengan kedua mempelai. Segera saja aku mengikuti rombongan untuk naik ke atas pelaminan, memberi selamat, berfoto dengan berbagai gaya lalu memutuskan untuk pulang lebih dulu dengan alasan kurang enak badan. Aku tidak mau menyiksa diri dengan berlama-lama disini, aku perlu sesuatu untuk melampiaskan seluruh energi negatif ini. Gym!

Aku menghabiskan waktu dua jam di Gym. Satu jam treadmil, setengah jam bengong dan setengah jam sisanya mandi, ganti baju dan lain sebagainya. Sebenarnya aku sudah berusaha untuk menolaknya, namun pikiran-pikiran itu kembali muncul tanpa bisa kucegah. Pikiran-pikiran seperti kenapa hidupku seperti ini, kenapa orang lain mudah sekali menemukan belahan jiwanya. Aku tidak tahu apa yang salah dengan diriku, bukannya aku tidak pernah jatuh cinta, aku jatuh cinta namun selalu saja orang yang kucintai tidak mencintaiku. Pertanyaan itu kembali muncul. Apakah pada akhirnya aku akan menikah? Sebagaimana orang-orang?

***

After Their WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang