PESAN DARI LONDON

97 13 4
                                    

Chris meneleponku lima menit yang lalu, mengabarkan bahwa dia telah sampai di London dengan selamat tidak kurang suatu apa. Bergurau tentang mungkin aku akan mencemaskannya jika dia tidak memberitahuku bagaimana keadaannya. Tentu saja seperti biasa aku menyangkal dan mengatakan bahwa dia terlalu optimistis. Tapi itulah Chris, dia selalu optimis, selalu inisiatif dan tidak terlalu banyak berpikir. Dia bisa membuat siapa saja yang berada di dekatnya merasa aman dan nyaman untuk menceritakan apa saja.

"Itu suara Jane ya?"

Aku bertanya setelah mendengar suara seseorang meneriakkan sesuatu yang tidak jelas di ujung sana. Namun karena suara itu khas sekali, jadi aku cukup yakin itu Jane.

"Ya, dia sangat berisik, bukan?" gumamnya. 

"She is pleasant, tho."

"Just a little both. Anyway, how're you feeling?"

"Never could be better."

"You've got my attention, Diana."

Aku menghela napas panjang lalu menghembuskannya dengan pelan. Aku sudah berjanji padanya untuk menceritakan apa yang telah terjadi padaku ketika perasaanku sudah lebih baik. Namun untuk sejenak aku merasa ragu, karena mungkin aku akan mengganggu urusannya apalagi dia baru sampai di London dan butuh waktu untuk beristirahat. Tapi aku butuh mendengarkan opini dari orang lain untuk masalahku ini supaya aku punya pertimbangan lain dalam mengambil keputusan jika sewaktu-waktu itu diperlukan.

Aku beranjak dari sofa di ruang TV dan berjalan ke kamar tidur. Aku tidak ingin orang-orang mendengar apa yang kubicarakan, terlebih ibu.

"He loves me." kataku pelan setelah beberapa saat hanya diam berdiri bersandar di daun pintu kamarku. 

"He does." Chris menjawab pelan.

Aku mengerutkan dahi. Jadi dia sudah tahu.

"Jadi kamu sudah tau." gumamku lirih.

"Not soon enough, but yea I can see it. You must be very happy to know that, right?"

Ya, seharusnya. Tapi semua ini lagi-lagi tidak sesederhana yang dipikirkan. Aku menceritakan padanya semua kejadian di Surabaya yang membuatku butuh waktu untuk menenangkan diri. Dia mendengarkan dengan seksama tanpa menyela sedikitpun. Setelah semuanya kuceritakan, bukannya memberikan saran atau setidaknya pendapat atau tanggapan tiba-tiba dia menceritakan sesuatu diluar dugaanku.

"Diana, listen to me. Tiga puluh lima tahun yang lalu ibuku pergi dari rumahnya yang sangat nyaman di Yorkshire untuk menikahi ayahku yang hanya tinggal di sebuah perumahan kecil di Alaska."

Aku reflek menghentikan gerakanku memainkan pulpen sembari memandangi cermin. Tidak menyangka Chris akan bercerita tentang masa lalu keluarganya.

"Tapi delapan tahun kemudian, diam-diam ibuku meninggalkan ayahku dan Jimmy untuk kembali ke Yorkshire dengan membawaku yang saat itu masih berumur delapan bulan."

Senyap sejenak.

"What's happened?" tanyaku.

"Wherever it is, the matter of the aristocratic family is always complicated."

Mendengar itu mulutku otomatis terbuka.

"Kamu keturunan bangsawan Inggris?"

"More or less," jawabnya dengan nada sedikit ragu, namun dia segera menambahkan. "Tidak perlu khawatir, aku orang yang bebas sekarang dan bukan itu yang ingin kukatakan."

Aku tidak tahu kenapa dia terkesan menganggapku mengkhawatirkan dirinya karena keturunan bangsawan.

"Then, what could it be?"

"Ibuku mengambil keputusan yang sangat besar dan berani demi menyelamatkan keluarganya. Ayahku selalu gagal setiap kali memulai bisnis dan seringkali mendapatkan hambatan saat mencari pekerjaan. Lalu ibuku menyadari bahwa keluarga besarnya telah ikut campur tangan atas kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi."

"That's why she left?"

"Yes."

"Does everybody know about that, the truth behind?"

"No."

"Your mother sacrified anything, I think it is not fair at all!" 

Aku tidak sadar telah berbicara dengan nada sedikit keras dari sebelumnya.

"That's the point, Diana."

Aku terdiam, mengerti apa maksudnya. Pengorbanan sering kali berakhir tidak adiladil,  bagi korban.

"I can't give you any advice, I've nothing to do with it. This is the point you must settle with your own feelings."

"I just, I had no notion that he loves me that much, Chris." Kataku sembari melamun menatap bayanganku sendiri di cermin. Perasaanku entah kenapa menjadi semakin rumit sekarang. Tidak hanya tentang aku, Alvin dan segala hal diantara kami akan tetapi juga sesuatu yang lain yang aku sendiri sulit menjelaskan. Yang aku tahu bahwa aku merasa perlu mendengar pendapat dari Chris.

"Apapun itu keputusanmu, Diana, adalah keputusan yang besar. You take so much pain on it."

Aku naik ke atas ranjang dan bersandar di tumpukan bantal. Chris benar, apapun keputusanku bukanlah hal yang mudah dijalani. Jika aku harus mengikuti kata hati untuk menerimanya itu artinya aku harus siap dengan segala kemungkinan seperti mungkin aku harus meninggalkan keluargaku dan menghabiskan seluruh hidupku berusaha untuk bisa diterima oleh keluarganya atau jika Alvin yang meninggalkan keluarganya, maka kemungkinan terburuk seperti yang terjadi pada keluarga Chris akan terjadi juga. Selain itu, aku akan menjadi orang paling buruk sedunia karena telah memisahkan seorang anak dari keluarganya. Namun jika aku memilih untuk menghindarinya itu artinya aku harus mengorbankan seluruh perasaanku dan mungkin juga perasaannya. Tapi apakah itu penting? Alvin memang mengatakan kalau dia tidak menginginkan hidup seperti keluarganya tapi mereka tetaplah keluarga. Apa gunanya membangun sebuah keluarga dengan menghancurkan keluarga lain? 

Tidak peduli tempat dan waktu, kehidupan keluarga para bangsawan tidak pernah sederhana. 

"Good night, Diana!"

"Good night, Chris!"

Tiba-tiba aku tersadar dari lamunan, Apa yang sebenarnya sedang kupikirkan? kenapa aku jauh sekali memikirkan tentang membangun keluarga? memangnya Alvin sudah memintaku untuk menikah dengannya? Yang benar saja. Aku menarik selimut dengan gerakan cepat sampai hampir menutupi seluruh badan dan bertekad dalam hati: aku tidak akan mengatakan apa-apa kecuali dia berbicara lebih dulu. Titik.

***

After Their WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang