Jari tangan seorang pemuda berkulit putih sedang menari di atas sebuah tuts piano. Ia memejamkan matanya, menikmati setiap melodi merdu yang terdengar indah di telinganya.
Ruangan sepi tidak berpenghuni menjadi tempat Rion menepi. Ia memilih untuk bermain musik untuk meredakan emosi.
Sudah cukup lama ia tidak menyentuh barisan tuts berwarna putih dan hitam tersebut, membuat Rion sedikit ragu-ragu kala memainkannya.
Namun meskipun begitu, Rion tenggelam ke dalam melodi yang di ciptakannya, membuat ia menikmati setiap alunan nadanya.
Tiba-tiba Rion mengangkat jari tangannya, menjauhkan jari tersebut dari piano di depan kala lupa dengan nada selanjutnya. Pemuda berambut hitam legam tersebut lalu mendengus kasar sembari membuka kedua matanya.
Sekarang Rion tidak mendengar suara sama sekali, di sini sepi dan juga sunyi.
Saat ini ia sedang berada di ruang musik utama, yang dimana ruang musik ini terletak di dalam gedung olahraga. Bel masuk sudah berbunyi, namun Rion tidak mempunyai niat untuk kembali ke special region dan masuk ke dalam kelasnya.
Suasana hati Rion saat ini benar-benar sedang buruk. Ia sedang tidak mau diganggu, sehingga hari ini untuk pertama kalinya Rion tidak akan masuk ke kelas untuk mengikuti pelajaran.
Rion mengusap wajahnya dengan kasar. Saat ini ia merasa kesal, marah dan juga sedih.
Ia merasa bersalah karena sudah marah kepada Lingga dan juga Carla. Namun di sisi lain, Rion juga merasa benar karena harus mengatakan semua hal itu kepada mereka.
Di saat Rion sedang tenggelam ke dalam perasaan bimbangnya, tiba-tiba saja pintu ruangan musik terbuka membuat Rion menolehkan kepalanya.
Seorang gadis yang memakai baju olahraga berwarna coklat berdiri di sana, matanya menatap lurus ke depan, lebih tepatnya ke arah Rion yang saat ini sedang menatapnya.
"Rion?"
Panggilan itu membuat Rion menaikkan sebelah alisnya, ia memicingkan mata untuk melihat gadis yang masih berdiri di depan pintu.
Mata Rion sedikit melebar kala mengenali siapa yang sedang berdiri di pintu sana.
"Atari?"
Gadis yang memakai baju olahraga Selion itu tersenyum ceria, ia kemudian menganggukkan kepala sambil masuk dan menutup pintunya.
"Iya, aku Atari. Kamu ngapain di sini? Bukannya istirahat udah selesai, ya?" Tanyanya sambil berjalan lurus untuk menghampiri Rion.
"Gue cuman lagi males buat masuk kelas. Lo sendiri? Mau olahraga?"
Kepala Atari mengangguk, membuat kuncirannya itu ikut bergerak, "iya! Sekarang materinya renang,"
"Terus ngapain ke sini? Kenapa enggak ke kolam renang? Nyasar?"
"Enggak kok. Tadi aku lagi jalan, terus enggak sengaja denger suara piano, jadi aku mau lihat siapa yang lagi main." Jujur Atari, "suaranya bagus banget, kamu yang main, ya?" Tanyanya kemudian.
Rion mengangguk, ia kemudian menepuk kursi di sebelahnya, menyuruh Atari duduk di sana karena merasa kasihan jika harus berdiri selama berbincang dengannya.
Atari pun menurut, ia kemudian duduk tepat di sampingnya Rion.
"Emang kedengeran bagus, ya?"
Kepala Atari mengangguk lagi, ia tersenyum hangat, "iya, bagus banget! Setiap denger suara piano, aku jadi pengen bisa main juga."
"Lo enggak bisa main piano?"
"Enggak, aku cuman bisa main biola."
"Ah, serius? Biola?"
KAMU SEDANG MEMBACA
What's Wrong With Selion? (COMPLETE)
مغامرةSequel Selion High School. (Bisa dibaca secara terpisah) Semenjak kejadian beberapa tahun yang lalu, kini Selion High School penuh dengan hal-hal yang baru. Cassie kira, di generasi anak-anaknya semua akan baik-baik saja, karena hal-hal buruk sudah...