❝Aku tidak menangis, karena kamu meninggalkanku sendiri. Aku tidak menangis, karena kamu meninggalkanku tanpa peringatan. Aku hanya menangis, karena aku tidak bisa lepas dari apa yang telah terjadi. Apakah kamu sadar ketika kamu membebaskanku? Yang bisa aku lakukan adalah membiarkan hatiku berdarah.❞
"Don't Watch Me Cry"
-Jorja Smith-
.
.
."Pak, pagi ini anda ada meeting dengan Mr. Kris, dan sore nanti adalah perayaan perusahaan yang ketiga. Meskipun saya hanya membantu dari sini, setidaknya anda benar-benar melakukannya."
Araya mengernyit mendengar percakapan formal Gita dengan seseorang di telepon. Ia menggeser kursinya hingga tepat berada di sebelah sofa tempat Gita duduk.
"Lo telepon sama siapa?"
"Oh, bos gue. Dia emang rada-rada aneh gitu, makanya gue ingetin," sahut wanita itu enteng.
"Hush! Sama bos sendiri kok gitu!" Araya menepukkan map berisi dokumen perizinan kepada Gita, namun tidak terlalu keras.
"Habisnya gue kesel. Tiap hari dia mikirin lo terus daripada perusahaan sendiri," gerutunya dalam hati.
"Oiya, Ra. Gue pulang aja deh, nggak enak sama temen-temen lo," pamit Gita sembari mengambil tasnya. Sejak tadi ia menemani Araya dari berangkat menuju butik tempatnya bekerja.
"Ya udah sono, gue juga sibuk. Pengen cepet-cepet nyelesain promosi ini, kelar langsung pulang deh, nanti 'kan malam Minggu," goda Araya menaikturunkan alisnya.
"Serah lo, deh." Wanita tersebut berjalan keluar dari butik. Dua meter dari tempat itu, dia menelepon Dheazka.
"Lo kudu cepet-cepet pulang! Lo mau Araya tunangan sama Reiga beneran?!" kesalnya begitu Dheazka mengangkat telepon.
"Nggak bisa, saya ada dua meeting penting lagi, nanti sore juga perayaan perusahaan, saya tidak mungkin meninggalkannya," sahut Dheazka dengan nada formal. Di seberang sana, dia sedang berjalan tergesa-gesa menuju ruang meeting dengan beberapa karyawannya yang mengikuti.
"Lagi pula, sudah saya bilang, percaya sama saya, mereka tidak mungkin bertunangan. Saya paham betul apa yang sedang si berengsek itu mainkan," imbuhnya.
"Terus, lo kapan pulangnya?"
"Saya akan mencari waktu yang tepat."
Gita tersenyum, kemudian menutup panggilan setempat. Ia yakin Dheazka bisa melakukannya. Pria itu harus bahagia bersama Araya.
***
"Mbak? Lo ketiduran?" Seseorang mengagetkan Araya. Wanita itu mengerjap, ia melihat sekeliling, sudah gelap, hari sudah malam.
"Eh, sekarang jam berapa?!" Ia melirik jam dinding dengan tergesa-gesa, gawat! Araya benar-benar ketiduran dan ia hampir saja melupakan acaranya sendiri.
"Thanks, ya, udah dibangunin. Gue pulang sekarang," pamitnya sembari berlari meninggalkan butik. Ia menghadang taksi dan berharap semoga ia tidak membuat Reiga menunggu.
Setelah Reiga melamarnya, ia akan mengatakan yang sebenarnya, tentang keluarganya dan aturan menikah di keluarganya. Semoga Reiga tidak sakit hati mendengarnya.
Rasa cemas namun bahagia bercampur menjadi satu dalam dirinya. Araya juga merasa was-was, namun untuk apa? Mungkin saking bahagianya dia.
Taksi yang ia tumpangi sudah sampai di depan Rumah Kita. Wanita itu berlari membuka pagar dengan terburu-buru. Bahkan ia tidak melihat ada kerikil di sana dan tersandung hingga tersungkur.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE LOVE I WANT ✓
General FictionTHE LOVE I WANT || TAMAT || PART LENGKAP ✓ --- ❝Cinta yang aku inginkan, aku hanya menemukannya di dalam dirimu. Dan cinta yang kamu berikan menjadi cinta yang aku butuhkan selama ini. Tidak ada satupun orang yang mampu membuatku tertawa dan menangi...