"Kamu gimana sih! Badan hangat gini kok bilang nanti sembuh sendiri!" Araya memeriksa kening Dheazka dengan punggung tangannya, kemudian mencari-cari termometer di laci.
Sedangkan Dheazka, ia tersenyum menatap Araya yang sangat terlihat khawatir padanya.
"Nah, ketemu!" Ia menemukan benda pipih putih itu dan meminta Dheazka untuk menyelipkannya di ketiak. Sementara itu, Araya berjalan mengambil obat-obatan yang sudah ia beli.
"Ada makanan, tidak?" tanyanya sembari mengeluarkan termometer itu. Kedua matanya membelalak melihat angka yang muncul, 39,7 derajat Celcius.
"Masa ini gara-gara tadi pagi itu, sih? Aku kan nggak parah-parah amat," gumamnya mengingat setiap kejadian. Ia pikir dirinya hanya demam semalaman, pagi ini pun Araya sudah merasa agak mendingan.
"Tidak ada. Baru pagi ini aku sampai di sini."
Araya mencoba untuk tetap tersenyum, kemudian berjalan dengan lemas menuju dapur. Ia mencari-cari bahan makanan yang bisa dimasak di sana. Tidak ada apapun. Kecuali telur dan daun bawang di kulkas.
Astaga, apartemen semewah ini, semegah ini, sama sekali tidak memiliki satupun bahan untuk dimasak?! Araya menggulung lengan bajunya, ia mulai mengambil air untuk memasak nasi.
"Kamu mau masak?" Tiba-tiba Dheazka berdiri di belakangnya, Araya terperanjat.
"Haishhh, harusnya kamu itu istirahat saja! Sana, masuk lagi!" Araya mendorong pelan tubuh pria itu.
"Aku sehat kok," bangga Dheazka memperlihatkan otot lengannya.
"Astagaaaa, dengan suhu badan setinggi itu kamu bilang kamu sehat?" Araya menarik tangan Dheazka dan membawanya masuk ke dalam kamar kembali.
Dengan pelan, ia mendorong tubuh Dheazka hingga terbaring di ranjang, mengambil selimut dan mematikan AC.
"Sudah! Di sini saja, nggak usah coba-coba untuk keluar!" Araya terlihat seperti guru yang sedang memarahi muridnya.
Bukannya menurut ataupun mengangguk, Dheazka malah menarik tangan Araya hingga wanita itu sukses turut terbaring di sampingnya.
"Sudah aku bilang, aku butuh kamu di sisiku, bukan obat dan makanan." Meskipun wajahnya pucat, ketampanan Dheazka tidak pernah berkurang satu persen pun.
Mendadak, jantung Araya berdegup dengan kencang lagi, ketika kedua maniknya bertemu dengan kedua mata sayu pria itu, Araya menemukan keteduhan di sana.
"Tunggu-tunggu, ini bau apa?"
Keduanya sama mengendus, Araya langsung terkesiap dan berlari menuju dapur. Minyak goreng yang tadi ia panaskan sudah habis menguap dan menyisakan bau seperti gosong.
"Sekarang masih mau bilang nggak butuh obat sama makanan?!" Araya menggeram menatap Dheazka yang terus tersenyum menatapnya.
"Pesan saja kan gampang." Dheazka mengambil handphone dari nakas, memesan banyak makanan di aplikasi andalannya.
"Huh, kenapa nggak dari tadi coba." Araya mencebik, ia mendudukkan dirinya di ujung ranjang Dheazka. Tubuhnya berbalik, menatap Dheazka yang kini kedua matanya terpejam.
Demi dewa yang sering neneknya Tapasya ucapkan, Dheazka jauh lebih tampan ketika tertidur seperti ini!
***
"Sudah kenyang?"
Dheazka menganggukkan kepalanya kecil, kemudian ia duduk bersandar dengan kedua matanya yang terpejam.
Sementara itu, Araya merapikan selimutnya yang berantakan. "Besok kalau belum sembuh, nggak boleh berangkat ke kantor, titik!" makinya kepada Dheazka, ia terlihat seperti ibu-ibu yang memarahi anaknya karena terlalu lama bermain.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE LOVE I WANT ✓
Ficción GeneralTHE LOVE I WANT || TAMAT || PART LENGKAP ✓ --- ❝Cinta yang aku inginkan, aku hanya menemukannya di dalam dirimu. Dan cinta yang kamu berikan menjadi cinta yang aku butuhkan selama ini. Tidak ada satupun orang yang mampu membuatku tertawa dan menangi...