『TLIW//59』

66 18 0
                                    

Hari demi hari terlalui dengan begitu cepat. Araya tidak menyangka, sebenarnya, selama ini apa yang telah ia lakukan? Hubungannya dengan Reiga juga tidak ada perkembangan. Setelah bertemu di lapangan dua bulan lalu itu, Araya tak lagi mempunyai waktu dengan Reiga.

Laki-laki itu sibuk dengan belajarnya, katanya. Ujian Nasional sedang berlangsung, Reiga begitu sibuk mempersiapkan dirinya dan Araya juga sibuk menanti Reiga.

Tak pernah terlewatkan sehari pun Araya mengirim pesan kepada Reiga. Meskipun Araya tahu Reiga tak akan membukanya. Pesan-pesan yang kemarin pun masih sama, centang dua dengan warna abu-abu.

Terkadang Araya senang ketika Reiga online WhatsApp, ia berharap warna abu-abu itu berganti menjadi biru. Reiga membacanya saja Araya sudah sangat senang, apalagi dibalas.

"Araya, mau sampai kapan di luar? Masuk, gih! Sudah malam," tegur Bi Mira membuka pintu kamar Araya.

Dari balkon, Araya hanya menatap Bi Mira. Ia tetap berfokus pada layar handphone. "Besok nggak sekolah." Hanya itu yang Araya katakan. Bi Mira menghela napasnya, ia mendekati Araya.

"Sekolah ataupun nggak sekolah, kamu tetap harus istirahat. Kesehatan itu penting, setelah masuk sekolah, kamu juga 'kan ada ujian akhir. Masuk, gih. Istirahat."

Araya terdiam mendengar kalimat lembut dari Bi Mira. Gadis itu malah melamun entah memikirkan apa.

"Baik." Araya berdiri, ia masuk ke dalam kamar. Bi Mira tersenyum. Dia paham dengan apa yang Araya rasakan.

"Sudah, handphone-nya ditaruh dulu. Jangan dipegangin terus," ucap Bi Mira mendapati Araya masih menggenggam handphone.

"Iya." Apapun yang dikatakan Bi Mira, Araya tak bisa menolaknya. Bi Mira adalah ibunya.

"Mau sampai kapan seperti ini, Kak? Kita hanya dipisahkan kesibukan. Setidaknya istirahatlah dan luangkan waktu untuk bertemu denganku. Jika memang Kak Reiga masih sayang sama aku, maka lakukanlah."

"Tapi, di sekolah dulu, ketika aku berpapasan di jalan, kenapa Kak Reiga sangat dingin? Bahkan tidak menyapaku balik. Aku paham, mungkin aku cuma terlalu berharap, Kak. Aku janji, aku nggak bakal memikirkan ini lagi, cukup, pikiranku telah penuh dengan masalahku dan kedua orang tuaku. Aku harap, Kak Reiga ngerti gimana rasanya aku ketika menahan semua rasa sakit dan rindu di waktu yang bersamaan."

"Kak Reiga, selamat malam. Semoga hasil ujiannya bagus, dengan begitu Kak Reiga bisa kuliah sampai Kakak sukses. Jangan pernah lupakan aku ya, Kak, meskipun aku tak terlihat dimatamu. Good night." Araya menatap foto Reiga di handphone-nya.Melihat wajah laki-laki itu membuatnya semakin sakit.

***

"Shengri kuaile!!"

"Siapa yang ulang tahun?" Dheazka merapikan pakaian toganya. Ia terlihat begitu tampan dan gagah. Laki-laki itu menjitak hidung Gita.

"Maksud gue, selamat atas kelulusannya, bro!" Gita tertawa menyadari kebodohannya. Sudah berbulan-bulan tinggal di sini, bahasa Mandarinnya masih buruk.

"Xie-xie ni."

"Gue mau foto lo, nanti gue bakal kirim ke Araya!" pinta Gita dengan antusias. Dheazka menggeleng.

"Nggak usah, nggak perlu. Lo jangan bikin seolah-olah gue masih berharap sama dia," ucapnya.

"Yee, lo kan masih berharap beneran, ogeb!" Gita memasukkan kembali kameranya. Padahal, ia ingin sekali Araya melihat bagaimana tampannya Dheazka saat ini.

"Enzo?" Seseorang datang membuat Gita terkejut. Itu adalah Mia.

"Bukannya lo sekarat waktu itu? Harusnya lo udah mati, 'kan?" tanya Gita dengan sinis. Dia menarik tangan Dheazka, menjatuhkannya dari Mia.

THE LOVE I WANT ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang