『TLIW//69』

76 16 7
                                    

❛❛There's a room, in my heart with the memories we made. Took 'em down but they're still in their frames. There's no way I could ever forget. For as long as I live and as long as I love, I will never not think about you.

"Never Not"
-Lauv-
.
.
.

Cahaya matahari mulai menerpa wajah wanita cantik yang sedang berdamai dengan mimpinya. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan pagi, namun Araya tak kunjung bangun juga dari tidurnya.

Samar-samar kedua matanya terbuka. Menatap langit-langit kamar berwarna putih dan dinding dominan abu-abu. Mirip seperti kamarnya dulu, tapi ia merasa ini berbeda.

Harum kamarnya bukanlah seperti ini. Maniknya menatap seluruh isi ruangan. Seperti pernah melihatnya namun ia lupa akan itu.

Di samping ranjang, ada nakas yang di atasnya terdapat lampu tidur yang sudah dimatikan. Lalu, tasnya yang berada di dekat lampu.

Kepalanya pusing ketika ia bangun dari tidur. Araya memposisikan dirinya menjadi duduk dengan bantal sebagai sandaran punggungnya.

Ia melirik pada arloji di pergelangan tangan kirinya, sudah menunjukkan pukul sembilan dan itu berarti ia terlambat jika akan pergi bekerja.

Araya menguap, berkali-kali matanya berkedip memastikan bahwa ia memang tidak berada di kamarnya. Ini mirip seperti kamar remaja. Tidak ada kesan dewasa sama sekali.

Kakinya tergerak memakai flat shoes berwarna hijau miliknya sendiri. Wanita dengan blazer yang sama dengan yang ia kenakan kemarin itu berjalan keluar dari kamar.

Ia menemukan satu mangkuk bubur instan di atas meja dekat dengan rak buku. Lalu, ada air madu di sampingnya. Terdapat catatan juga yang terselip di bawah gelas.

Jangan mabuk lagi, kemampuan minum lo buruk ᕕ(˵•̀෴•́˵)ᕗ

"Mabuk?" gumamnya membaca tulisan rapi itu. Ia langsung terduduk lemas menyadari perbuatannya.

Araya mengusap wajahnya dengan kasar. Tak sengaja ia juga mencium bau alkohol pada blazer hitamnya. Apa yang ia lakukan?

Rasa cemasnya memuncak ketika menyadari ia tidak berada di rumahnya. Namun pakaiannya masih utuh. Ia juga tidak merasakan nyeri di—eumm ... kelaminnya.

Melupakan perbuatannya semalam, Araya memakan bubur di mangkuk. Ini adalah bubur dengan rasa yang sama dengan beberapa tahun lalu, di mana ia juga memakan bubur di dalam apartemen ini.

Pantas saja Araya merasa tidak asing dengan suasana kamar, sofa, dapur, tangga dan terasa menyenangkan ketika mengingat kenangannya di dapur itu.

Ia tengah tertawa melihat Dheazka bergoyang dengan musik dangdut sebagai iringannya. Saat ini Araya melihatnya kembali, melihat kenangan itu seolah ada layar yang menampilkannya kembali.

***

"Enzo, kamu yakin tidak akan pulang? Kamu tidak akan menyesal?"

Hembusan napas lelah dari Dheazka. Pria itu mengusap wajahnya.

"Tunggu pekerjaan saya selesai." Hanya itu kalimat yang ia ucapkan, sama seperti waktu-waktu sebelumnya ketika kakaknya menanyakan pertanyaan yang sama.

"Pekerjaanmu apa? Tugasmu bahkan hanya membaca dan tanda tangan," sahut Shei sembari menunjuk setumpuk kertas di meja adiknya.

Dheazka berdiri dari kursi kebesarannya. Langkahnya terayun menuju sofa, berpindah menjadi duduk di sana. Satu cangkir teh hangat tersaji di sana. Namun sudah agak dingin karena ia tak meminumnya.

THE LOVE I WANT ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang