『TLIW//76』

75 17 5
                                    

❝Sekali lagi hari ini, aku menunggumu.
Aku memiliki banyak kekhawatiran sekarang. Sepanjang hari, aku hanya memikirkanmu. Aku merindukanmu. Menunggumu. Hatiku tertuju padamu.❞

"I'm Missing You"
-Sunjae-

.
.
.

"Sudah-sudah, jangan menangis. Di sini aku yang kamu tinggalkan, tapi aku tidak menangis." Lagi, Dheazka merengkuh tubuh Araya ke dalam pelukannya.

Di depan bandara yang ramai itu, mereka berpelukan lagi untuk yang kesekian kalinya dalam pagi ini. Tangan pria itu mengelus rambut Araya menenangkan, mencium keningnya mengatakan semuanya akan baik-baik saja.

"Araya, sudahlah, Nak. Hanya sepuluh bulan dan itu tidak akan lama." Kini, Irene mendekatinya. Araya berbalik dan memeluk calon ibu mertuanya.

Wanita itu tersenyum, keluarga Dheazka begitu baik kepadanya. Ia pun memeluk Irene.

"Aku janji, setelah sepuluh bulan itu aku akan langsung pulang," ujarnya dengan mantap.

Mati-matian Dheazka menahan tawanya seiring wajah Araya yang semakin lucu ketika memberenggut. Ia yakin sebenarnya Araya tidak rela jika harus pergi. Lagi pula, sepuluh bulan itu memang bukan waktu yang lama. Namun tidak mudah bagi dua manusia yang saling menaruh hati.

Tangannya terulur untuk menangkup pipi Araya, membuat bibirnya sedikit mengerucut.

"Kita memang akan jauh karena jarak. Tapi percayalah, ingat selalu setiap kalimat yang aku ucapkan. Kita adalah takdir, dan selamanya takdir tidak akan pernah bisa dirubah."

Araya mengangguk lemas, ia menarik kopernya dan berjalan menjauh dari dua manusia itu. Namun, baru tiga langkah kakinya melaju, tubuhnya berbalik.

Seakan ada dorongan untuk melakukannya, Araya memeluk Dheazka erat. Sontak, pria itu membalasnya, mengecupi puncak kepala Araya.

"Haishh, Mami akan ke mobil duluan sajalah." Wanita paruh baya itu berjalan pelan meninggalkan mereka. Seolah memberi waktu untuk kedua manusia itu berpelukan.

"Maaf," lirihnya menatap kedua mata teduh itu. Ia yakin sebenarnya Dheazka juga ingin menangis, tapi tidak mungkin seorang pria berwibawa sepertinya menangis di tengah-tengah keramaian bandara.

"Untuk?"

"Untuk perpisahan ini ... aku minta maaf."

"Apa yang baru saja kamu katakan? Bahkan, kita dulu sempat terpisah, namun kita tidak pernah saling meminta maaf. Sudahlah, aku baik-baik saja."

Senyuman kecil terukir dengan jelas di wajah Araya. Dheazka selalu bisa menjaga perasaannya. Sungguh, ia adalah wanita paling beruntung yang berhasil menguasai seluruh ruangan hati Dheazka.

"Kamu akan tertinggal jika terus memelukku seperti ini," sela Dheazka sembari melepaskan perlahan pelukannya. Terakhir, ia mencium kening wanita itu.

"Semuanya akan baik-baik saja. Pergilah."

"Aku mencintaimu, selamat ting--"

"Sstttt, jangan pernah mengucapkan kalimat perpisahan. Kita hanya berpisah sebentar, setelah itu kita akan selalu bersama dan bahagia." Telunjuknya berdiri tepat di depan bibir Araya. Ia tersenyum menatap wanita itu, menunjukkan bahwa dia akan terus menunggu.

Lagi dan lagi, ia memeluk Dheazka erat. Sungguh berat rasanya harus meninggalkan tempat ini, meninggalkan pria yang ia cintai.

Dengan berat hati kakinya melangkah maju meninggalkan Dheazka yang tersenyum melambaikan tangannya. Seakan ada efek slow motion, Araya sungguh tidak rela untuk pergi.

THE LOVE I WANT ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang