『TLIW//18』

163 57 5
                                    

Masih sama-sama diam dan mengabaikan para orang dewasa bernostalgia, Araya dan Dheazka sejak tadi hanya menunduk

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Masih sama-sama diam dan mengabaikan para orang dewasa bernostalgia, Araya dan Dheazka sejak tadi hanya menunduk.

Tak ada yang memulai bicara selain mendengarkan para orang dewasa di sekeliling mereka. Sesekali Araya mengangguk jika Pak Hans atau Irene menanyakan sesuatu.

Selebihnya tidak ada pembicaraan yang menarik di antara tiga orang itu, kecuali saat ini, ketika Irene menepuk punggung Dheazka.

"Iya Hans, aku sudah menjodohkan putraku ini dengan anak temanku, dia sangat cantik. Dia juga bersekolah di sini. Setelah lulus SMA, ingin sekali aku menikahkan mereka!" seru Irene dengan tidak sabarnya, hal itu tentu saja membuat Araya maupun Dheazka sama-sama mendongak, menoleh kepada Irene yang mengakui bahwa dia sudah menjodohkan anaknya sendiri, bahkan saat masih SMA.

"Kau ini, Enzo masih muda sekali, apa kau hanya tidak ingin membiarkan Enzo mengikuti jejak papinya, makanya kau menjodohkannya," elak Pak Hans, pria tua itu mengungkit soal suami Irene, tentu saja hal itu membuat Irene geram.

"Jelas bukan. Enzo dan dia sudah mengenal sejak kecil, jangan pernah bawa-bawa pria itu lagi." Irene melipat tangannya di depan dada.

Araya masih diam, kejutan apa lagi ini?

Dheazka ... dijodohkan? Apa perjodohan itu masih berlaku di zaman modern seperti sekarang? Kuno sekali seorang Irene ini, sampai-sampai di zaman seperti ini masih ada perjodohan.

Di mana-mana anak muda zaman sekarang pacaran, mana ada perjodohan. Menurut Araya, perjodohan hanya akan mengekang seseorang.

Araya tertawa kecil, kemudian mengusap pipinya yang basah. Apa? Pipinya basah? Sejak kapan ia menangis?

"Siapa yang akan menjadi calon menantumu itu? Jangan bilang, putrinya Soraya?" Kini John ikut bicara. Araya tidak mengerti, siapa lagi Soraya itu?

"Kau tau sendiri jawabannya, John," ucap Irene memutar bola matanya.

Dheazka mengepalkan tangannya, semakin kuat ketika melihat air mata itu turun begitu saja di pipi Araya. Ia tidak tahu apa yang terjadi dengan gadis itu, sampai-sampai bisa menangis tanpa diminta.

Jika Irene bukan ibu kandungnya, ingin sekali Dheazka menyingkirkan wanita di sampingnya ini, dan memeluk erat Araya yang sejak tadi menangis tanpa suara. Orang-orang dewasa di sekelilingnya ini tidaklah paham apa yang ia pikirkan.

Ingin sekali Dheazka menghapus air mata yang tanpa disuruh, keluar dengan sendirinya, menghiasi pipi tirus gadis itu, Araya. Ingin sekali ia memeluk Araya, mengecupi wajahnya, mengusap punggungnya menenangkan, tapi itu hanya menjadi keinginannya semata.

Araya berdiri, meminta izin untuk ke toilet. Dheazka mendesah frustasi.

Ia hanya mencintai Araya, meskipun dirinya seorang dijodohkan dengan Mia, gadis Medusa yang amat ia benci.

THE LOVE I WANT ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang