『TLIW//66』

71 15 24
                                    

Aku tak akan pernah lupa. Akan kubuat kau bahagia. Sama seperti semboyan, kita adalah satu. Seiringnya waktu, aku tak bisa mengatakan apa-apa dan hanya menelan kata-kataku. Mengatakan kata-kata “Aku minta maaf, aku mencintaimu, tolong percaya padaku seperti yang sekarang kau lakukan.” Aku akan memelukmu, menggenggam tanganmu. Agar hatimu dapat beristirahat. Akan kuberikan segala yang kupunya. Aku ingin melindungi senyummu. Selalu.

🎶Promise🎶
-✰ĖӾØ✰-
.
.
.

"Araya, itu kamu, Nak?"

Wanita yang sedang menata tatanan blazer itu menoleh, terkejut mendapati sepasang suami istri yang sebagian rambutnya sudah agak memutih.

"Ma-mama, Papa?" Lama ia tak mengucapkan kata itu, lidahnya terasa kaku ketika mencobanya.

Dua orang tersebut memeluknya dengan erat. Seakan tidak ingin kehilangan putrinya lagi.

"Duduklah," tutur Wendy sembari menuntun Araya duduk di sofa.

"Saya tidak mau, Ma. Saya sudah membeli sebuah rumah dan saya bisa tinggal di sana. Kalian tidak perlu mengkhawatirkanku," ucapnya bahkan sebelum sempat orang tuanya berbicara.

"Ara—"

"Oh, iya. Sebentar lagi akan ada pria yang akan menikahiku, tolong berikan restu, ya."

"Menikah?" Johnny mendekati putrinya. Ia menangkup kedua pipi anak gadisnya tersebut. Meskipun sudah bukan gadis lagi, namun wanita yang hebat.

"Dengar, Nak. Meskipun kami tahu kami salah, kami tidak akan membiarkan kamu menikah dengan laki-laki manapun, kecuali dia adalah pilihan kami. Sekali lagi, kamu masih putri kami, tanggung jawab kami," jelas pria paruh baya tersebut.

Araya mendecih. "Tanggung jawab? Apakah membiarkan anaknya dalam kesendirian selama hampir seumur hidupnya itu adalah tanggung jawab? Hebat sekali anda, Tuan Johnny yang terhormat."

Johnny tergelak mendengar kalimat pedas dari putrinya sendiri.

"Kami kira kamu sudah memaafkan kami. Tapi, menikah dalam keluarga kita itu bukanlah hal yang mudah. Nenekmu? Jika dia tidak merestuinya?"

"Menikah tidak perlu restu seorang nenek. Saya hanya butuh anda selama dua jam di upacara pernikahan. Setelah itu, silakan," elaknya dengan nada angkuh.

"Yaya! Siapa yang mengajarimu menjadi wanita angkuh?!"

Wanita itu tergelak melihat Oma Eli yang berdiri di dekat pintu masuk. Ia sungguh tidak percaya.

"Sejak kapan kamu berani melawan orang tuamu sendiri?!"

Araya berdiri, dia menggeleng sambil berjalan mendekati neneknya.

"Oma, bukan seperti itu, aku tidak melawan mereka. Oma tahu? Sebentar lagi cucumu ini akan menikah, aku hanya perlu restu dari Papa," jelasnya membuat amarah Eli bertambah.

"Meskipun aku selalu baik padamu, tapi tidak semudah itu menjalankan pernikahan tanpa sepengetahuanku. Di dalam keluarga ini, bukan Johnny yang berkuasa, selagi aku masih hidup, semuanya harus atas izinku!" Eli duduk di tempatnya tadi.

THE LOVE I WANT ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang