『TLIW//57』

110 20 10
                                    

Lagi-lagi kesepian menyapa Araya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Lagi-lagi kesepian menyapa Araya. Gadis itu menatap langit-langit kamar berwarna putih di atasnya. Kemudian pada tirai berwarna biru muda, sebuah mangkuk bubur yang telah kosong di atas meja, lalu pada perban yang membalut tangan kanannya.

Ia menghembuskan napas. Rumah sakit lagi, gumamnya.

Tidak ada yang menemaninya, hanya Oma Eli yang kemarin membawanya ke sini lalu pergi kembali karena acara peresmian cabang perusahaan baru.

Orang tuanya? Jangan ditanya, tentu saja mereka sangat sibuk dengan padatnya pekerjaan masing-masing yang membuatnya lupa akan putri mereka.

Tadi pagi Araya sempat senang ketika mendengar suara pintu yang dibuka, ia kira adalah keluarganya. Ternyata seorang suster yang membawakannya bubur.

"Selamat pagi, Cantik." Begitulah sang suster menyapa, ia tersenyum sambil menjawab, "Pagi juga, Suster baik."

Araya sempat mengobrol sebentar dengan suster itu. Meski ada teman mengobrol, Araya tetap merasa sepi. Tiba-tiba semuanya hampa.

Entahlah. Mungkin ia tidak akan pernah menemukan secuil kebahagiaan dalam hidupnya.

"Araya, kami dataaanggg!" Dirinya dikejutkan dengan kedatangan teman satu kelasnya yang beramai-ramai. What? Araya bahkan lupa jika ia masih memiliki teman.

"Kalian nggak lanjut acara berkemah? Bukannya sekarang masih, ya?" Saking terkejutnya, ia bahkan tak mempersilakan teman-temannya masuk. Mereka masih berkumpul di depan pintu.

"Nggak lama setelah itu, acara dibubarin waktu tahu kalau ada yang tersesat. Tapi, nggak papa, kok. Kita jadi ada waktu buat besuk lo di sini. Kita nggak disuruh masuk, nih?" Erick memimpin. Sejujurnya, Araya masih sungkan bertemu dengan laki-laki itu. Bukan karena benci atau bagaimana, tapi kalimat Dheazka kemarin membuatnya malu kepada Erick. Karena ternyata dia menyukainya.

"Ah, iya. Masuk gih," ucapnya sambil mengulurkan tangannya menunjuk gagang pintu.

"Buset, dah! Kalian di luar aja, kebanyakan anjiir! Nanti ada dokter lihat, lo pada diusir!" Erick mendorong beberapa teman laki-lakinya yang ikut masuk ke dalam kamar Araya dirawat.

"Nggak papa, Rick. Biarin mereka masuk," tutur Araya sambil terkekeh melihat tingkah temannya.

"Sebelumnya, gue mau tunjukkin sesuatu." Dian berjalan keluar dari kamar Araya, lalu kembali masuk lagi dengan seorang gadis bernama Zira yang berasal dari kelas sebelah.

"Zira?" Araya mengernyit, untuk apa gadis itu ikut kemari?

"Gue minta maaf sama lo, Ra. Karena gue, lo jadi kaya gini. Harusnya gue nggak lakuin hal itu ke lo, tapi ... gue bener-bener minta maaf sama lo, intinya gue salah dan gue minta maaf." Gadis itu menundukkan kepalanya, tangannya menggenggam tangan Araya penuh harap.

Awalnya Araya bingung kenapa Zira meminta maaf padanya, tapi, mengingat ketika terakhir kali ia menemukan tanda panah itu, ia paham maksud Zira. Karena waktu itu ia memang bersama Zira.

THE LOVE I WANT ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang