『TLIW//72』

90 17 1
                                    

❛❛I just had to let you know you're mine. Hands on your body, I don't wanna waste no time. Feels like forever even if forever's tonight. Just lay with me, waste this night away with me. You're mine, I can't look away, I just gotta say.❞

"Mine"
-Andrew Bazzi-
.
.
.

"Lalu?"

"Ingat kalimat saya tadi pagi?" Dheazka mendekati Araya. "Saya mau kamu."

"Nggak jadi. Saya bisa pulang sendiri." Araya merebut dompetnya, ia keluar dengan tergesa-gesa dari mobil Dheazka.

Sesuatu yang bergejolak di perutnya membuatnya tidak tahan berada dekat-dekat dengan Dheazka. Tangannya bahkan gemetaran.

Dheazka menyusulnya, pria itu berjalan di samping Araya. "Kalau begitu, saya temani kamu berjalan saja, ya."

Araya menurut. Dengan cepat ia berjalan menyusuri trotoar. Tangan Dheazka terangkat di atas kepala Araya.

"Sangat panas. Harusnya kamu tadi naik mobil bersama saya." Begitu yang ia katakan. Araya berhenti, mendongak menatap tangan Dheazka yang menghalangi terik matahari mengenai kepalanya.

"Itu tidak perlu." Araya menurunkan tangan Dheazka. Ia berjalan menyeberang, namun begitu ia melangkahkan kaki, sebuah mobil datang dari arah kanan, hampir saja Araya tertabrak jika saja Dheazka tidak menariknya segera.

"Awas!" Tangan pria itu menariknya, membuatnya jatuh menimpa tubuh Dheazka. Sepertinya punggung Dheazka sangat sakit karena membentur trotoar yang keras, tubuh Araya juga menimpanya. Apalagi Dheazka belum sepenuhnya pulih, sebenarnya.

"Terima kasih." Araya langsung merapikan rok hitamnya, ia berdiri sambil memegangi lengannya yang sedikit sakit.

Tiba-tiba Dheazka memeluknya dari belakang, begitu erat membuat Araya sesak.

"Rok kamu robek, lebih baik kamu menurut saya. Ikut ke mobil dan mari saya antar," bisik pria itu di samping telinga Araya.

Sontak, kedua mata wanita itu membulat sempurna. Jika roknya robek, berarti Dheazka melihatnya?

"Kamu nggak ngintip, 'kan?!"

"Sekarang sudah tidak, karena kamu saya peluk."

Abkikkqoueggsjjqqahss.

***

Araya menatap bangunan di depannya. Rumah Kita. Ia langsung membuka pagar dan menemukan Hera dan Ayumi yang sedang berbicara di teras.

"Mbak Arayyyy!" teriak Hera sambil berlari mendekati Araya.

"Mbak, lo kemana aja satu bulan ini? Gue kangen main di kamar lo, tapi lo nggak ada, jadi nggak bisa buka," lanjut gadis itu.

Araya tersenyum, ia mengambil kunci dari dalam dompetnya. Matanya melirik Dheazka yang bersandar di mobil.

"Nggak mau masuk?" tanyanya pada Dheazka.

Wajah pria itu seolah mengatakan, "Memangnya boleh?"

Araya mengangguk dan membuka pintu. Dua gadis tadi langsung menyerbunya dengan berbagai pertanyaan.

"Mbak, dia siapa? Ganteng banget, yang kemarin dikemanain, Mbak?"

"Gue pernah lihat orang itu di tipi!!"

Hera dan Ayumi begitu heboh, apalagi ketika Dheazka ikut masuk dan duduk di sofa di samping Araya. Pria itu melihat-lihat isi ruangan tersebut, agak sempit namun rapi.

"Eh-eh-eh! Iya, ini yang di tipi ituu! Lo nemu di mana, Mbak?!" Hera mendekati Araya setelah melihat dengan jelas wajah Dheazka.

"Hera, Ayu. Kenalin, dia—"

THE LOVE I WANT ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang