Tanda Kehadiran

33 1 0
                                    

Hari ke-2 segalanya tampak baik. Kamar yang luas mengajak Wina berpikir macam-macam, tentang pernak-pernik, speaker, karpet, atau bermain catur. Oh ya, catur, itu ide bagus, kami akan membelinya tidak lama lagi.

Hal-hal negatif sementara berganti keceriaan. Beberapa dekat Wina sudah tahu perihal ia pindah. Bahkan salah seorangnya, Siska mengatur waktu malam ini, rencananya untuk sekadar main. Maka tidak ada alasan aku tidak pulang ke rumah. Lepas adzan isya berkumandang aku pamit diri.

Sebelum benar-benar pulang aku sempat mampir ke sebuah warung tenda. Kebetulan sekali ada Mbak Fani di sana. Ia duduk menunggu pesanan. Terang saja aku menyapanya lebih dulu. Ia tampak terkejut.

"Kamu mau ke mana?"

"Pulang, Mbak."

Aku memesan seporsi nasi uduk lauk ayam goreng.

"Pulang ke mana?"

"Bekasi."

"Lho, kenapa enggak nginep lagi aja?" Mbak Fani menyulut rokok mentholnya, "hujan gini, santai kok kalau mau nginep."

Jadi sebenarnya ia tahu aku semalam menginap. Oh, tentu saja, motorku kan terparkir.

"Semoga betah ya di rumahku," kalimatnya yang ini agak aneh.

"Memang sebelumnya banyak yang nggak betah, mbak?" Aku sengaja tertawa ringan agar terkesan bercanda.

"Ah, enggak gitu, semuanya pada betah kok."

"Tapi kamar Wina sempat kosong lama ya, mbak?"

Ia menggeleng, "dua bulan sebelum pacar kamu ada yang isi, perawat, tapi pindah tugas ke....Jambi kalau enggak salah."

Tak berselang lama pesanannya jadi. Ia membayar untuk dua bungkus, tetapi tidak langsung pulang.

"Sebetulnya dia sudah bayar 3 bulan. Sayang ya baru dua minggu langsung pindah," ia mengatakan itu
seperti tidak ada apa-apa, aku pun hendaknya berpikir serupa.

"Berarti semua kamar sekarang penuh, Mbak?"

"Masih ada yang kosong, tapi sengaja enggak disewakan karena masih rusak,"

"Yang mana, mbak?"

"Itu di sebelah kamu."

Sialan, dia mengerjaiku. "Masa iya kamar mandi disewain juga?"

"Bukan, maksudnya yang di sebelah kamar mandi."

Kalimatnya yang terakhir itu tanpa ia sadari seperti serangan yang tiba-tiba. Itu kamar yang jendelanya berembun. Aku tak lagi bernafsu mengucapkan barang sepatah kata. Mbak Fani agaknya merasakan juga perubahan gelagatku, tetapi mungkin ia tidak tahu penyebabnya. Obrolan kami tidak pernah kembali seperti semula, beberapa saat kemudian Mbak Fani pulang.

Jalan Inspeksi Kalimalang diguyur hujan. Sepeda motor kupacu dalam kecepatan sedang. Ada yang sedikit mengganggu, ponsel CDMA di saku celana bergetar dua kali, tapi tidak kuhiraukan. Aku terus saja menembus hujan.

Di perempatan Jalan Ahmad Yani, Bekasi, kembali perangkat butut itu bergetar. Kemudian ada panggilan masuk yang tak berkesudahan. Ponsel ini masih nyala saja, padahal biasanya panas sedikit langsung mampus.

Sepertinya si penelepon punya kesabaran lebih. Tapi aku tetap mendiamkan panggilan itu hingga tiba di rumah.

Rumah adalah sebaik-baiknya tempat kembali. Ada kehangatan yang tidak pernah bisa kudapatkan di luar. Rumah selalu mengantarkan kehangatan, sebagaimana yang kurasakan sekarang. Aku memasuki dunia yang tenang tanpa gangguan, bersenda dengan orang-orang terbaik, melupakan segala yang tampak sulit.

[Real Story] Kost Angker Pejaten Jakarta Selatan [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang