Malam begitu mendung, dari gelapnya kelihatan. Sebentar lagi mungkin akan hujan. Bau tanah meliuk ke dalam penciuman, bersama angin yang mulai mengiris.
Lonceng jam dinding di bawah berdentang sekali, tandanya sudah satu jam hari yang baru mengganti yang sebelumnya. Aku tidak mendengar suara sejak tadi melainkan dari tiga anak manusia di kamar Wina. Percakapan tidak putus-putus seperti penjual minyak misik menghadapi pelanggan-pelanggannya yang rewel. Tentulah isi mulut orang-orang di kamar ini soal hantu, jin, setan, arwah gentayangan atau sebutan-sebutan lainnya. Semacam tidak ada lagi yang menarik di dunia ini untuk dibicarakan.
Sudah hukumnya begadang membuat mudah lapar. Semakin jauh malam, semakin bertentangan isi perut dengan isi kepala. Dan tidak ada pilihan yang lebih bagus kecuali menunaikan hak-hak lambung sebagaimana mestinya. Moris bersuara lebih dulu soal makan. Boleh saja statusnya tamu, tetapi Moris merasa yang punya logistik, meskipun diperoleh dengan cara menjengkelkan.
Lantas kami pergi ke dapur, turun berbarengan melalui tangga kayu. Gelap gulita di bawah. Wina menyalakan lampu sebuah agar bisa melihat. Seekor anjing mini pom meringkal pulas di depan pintu masuk. Seolah-olah ia berlagak menjaga rumah, padahal tubuhnya ala kadarnya begitu.
Satu persatu masuk ke dapur dengan langkah selirih mungkin. Peraturan memang membolehkan dapur dipakai sembarang waktu, namun tetap saja ada sungkan yang perlu dijaga ketika menggunakannya semalam ini.
Di dapur sempat-sempatnya kami berdebat tentang mau diapakan mi dan telur itu. Moris punya mau membuat mi goreng telur, tetapi karena matanya yang jelalatan, maunya ditambah jadi membuat mi goreng ala tukang nasi goreng.
"Itu ada bawang dan cabai, katanya boleh dipakai?" demikian pembenarannya.
"Sosis, bakso juga ada, Bang!" katanya semakin yakin. Ternyata tangannya kali ini sudah menjamah kulkas.
Aku menolak usul itu dengan maksud supaya lebih lekas makan, juga tidak terkesan aji mumpung. Bisa jadi bahan-bahan penambah itu milik penghuni lain.
"Sudah, mi goreng biasa saja. Kalau kenyang kau juga lupa apa yang sudah dimakan," kataku menentang.
"Tapi sebelum kenyang kita ingat terus, Bang."
Percuma saja jadinya mendebat Moris. Malah dia sudah menyiapkan bahannya semua.
"Gimana kalau bikin martabak mi aja?" Wina yang berdiri sambil menyandar pintu yang tertutup memberi usul.Boleh juga idenya, membuat makanan ini tak perlu mengambil milik orang lain. Lagipula mudah dan cepat. Aku setuju bukan main. Meskipun akan terlihat seperti kudapan, martabak mi sama mengenyangkan. Diam-diam aku mengakui Wina punya cukup pengalaman sebagai anak kos.
Tapi ide begini masih juga disergah Moris. Dan alasannya cukup mengejutkan.
"Ah, lu ada-ada aja bikin martabak, mana bisa?"
"Ya bisa lah!" kata Wina agak emosi.
"Bahan-bahannya mana? Ini aja telur ayam bukan bebek, aneh-aneh aja!"
Ternyata dia tidak mengerti yang dimaksud sebenarnya. Wina terpaksa menjelaskan dengan cukup rinci supaya tidak perlu diulang. Moris baru tahu ada makanan seperti itu. Aku menggumam, memang apa saja yang dia tahu seumur hidupnya?
Lantaran sudah paham, juga didukung membayangkan makanan itu, sambil berjingkat Morris berkata, "Boleh-boleh, gua aja yang bikin sekalian belajar. Enak juga ya, baru tahu gua!"
Ucapannya yang terakhir sontak membuat aku dan Wina tertawa sejadi-jadinya. Siapa suruh ada tamu macam ini. Dan Moris juga akhirnya ikut menertawakan kenaifannya sendiri, bahkan lebih lantang. Kami bergembira selama beberapa saat sampai tiba-tiba membisu dalam satu hitungan. Wina tampak mendorong sendiri badannya agar lebih rapat dengan kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
[Real Story] Kost Angker Pejaten Jakarta Selatan [Complete]
HorreurCerita berikut adalah kisah nyata yang sempat fenomenal di Kaskus pada tahun 2016. Saya sebagai reuploader sudah mendapatkan izin dan restu dari pihak pertama. Selamat membaca and Stay Creep...