Merasa Bersalah

15 1 0
                                    

Aku bangun dan menyadari tidurku sudah terlalu lama. Pukul 2 siang, gumamku sembari menahan kesal. Sudah tidak ada yang bisa dilakukan jam segini, bahkan ingin mengulat pun canggung.

Rupa-rupanya Wina meninggalkan aku sendirian. Kupastikan itu dari secarik catatan pendek di kaca rias. "Aku duluan, ada kuis jam 11. Kamu tidur seperti mati", demikian Wina menulis.

Hufft, kalau begitu lebih baik cepat-cepat pergi juga. Handuk meggantung di tembok jendela. Saat hendak menariknya, kusempatkan menengok jendela di kanan sana. Terbuka seperti yang sudah-sudah. Melangkah ke kamar mandi, kupastikan kamar itu masih digembok dari luar. Biarlah, asal tidak mengganggu apa baiknya merepoti hal begini, kataku dalam hati.

Dalam 10 menit segalanya beres. Namun ada sesuatu yang mengusik. Sebuah lingkaran merah di kalender meja. Berpikir sekian detik...

Ya Tuhan! Hari ini genap sebulan Wina tinggal di kamar ini. Semestinya sudah dari kemarin-kemarin aku mencarikan tempat tinggal baru. Kalau begini tidak perlu mencari-cari pilihan lain. Wina harus memperpanjang masa tinggalnya di sini.

Betapa banyak waktu disia-siakan, dan aku hanya sibuk menceritakan ini itu yang seram-seram kepada orang lain. Marah bercampur sesal mengaduk-aduk pedalaman kepalaku. Merasa bersalah, itu saja akhirnya.

Tetapi sesungguhnya masih ada kemungkinan lain yang bisa diupayakan. Barangkali saja aku bisa mencari tempat baru hari ini. Kenapa tidak? Bukannya celah ini hanya akan lebih terbuka dengan mencoba? Selama berdiam diri saja, tidak ada jalan baru yang boleh diharap-harap.

Membuka binder, sore nanti ada jadwal kuliah penghabisan. Maksudnya itu mata kuliah terakhir hari ini, yang lain sudah terlewat. Hukum organisasi internasional, kupikir-pikir tidak terlalu buruk menghindar dari kuliah itu. Aku tidak pernah menyukai dosennya, lagipula dia lebih suka bertemu klien daripada para mahasiswa.

Aku memutuskan akan mengitari Pejaten demi mencari kamar kosong. Dengan rencana itu langkahku mantap menuruni anak tangga di depan kamar. Mbak Fani terlihat di bawah, berdiri diam saja dengan tangan menangkup. Ia menatap pembantunya, Mbak Asih yang sedang memangku unyil seperti bayi. Setelah lebih dekat aku baru tahu Mbak Fani sebetulnya sedang menatap anjingnya. Wajahnya gelisah.

"Mau jalan, Mbak?" Kutanya begitu lantaran ia sudah rapi dalam balutan cardigan. Kakinya dialasi boots berhak tebal.

"Iya, nunggu pacar aku."

Aku mengangguk saja pelan, melanjutkan langkah sambil permisi. Rasanya tidak ada yang perlu kucari tahu lagi.

Namun suaranya menyela saat tanganku menggapai gagang pintu. Ia bertanya,"Vin, tadi malam ada yang pakai dapur nggak?"

Aku tidak melihat maksud yang jelas dari pertanyaan itu. Apakah ia tidak suka dapurnya sedikit berantakan atau...ya aku mengerti, mungkin Mbak Fani ingin tahu siapa yang meninggalkan lima butir telur di dalam situ.

"Aku yang pakai, Mbak," jawabku diikuti mengawasi wajahnya, "Ya Allah, lupa banget aku enggak sempat bersihin."

"Bukan, bukan itu. Waktu kamu masak, kamu sempat lihat si unyil nggak?"

Darr! Rasanya seperti tembakan mengenai sasaran yang tidak diduga. Nyaris saja tenggorokan yang belum diisi apa-apa ini tersedak. Baiknya kujawab dengan jujur.

"Lihat, Mbak. Tidur di depan pintu," kataku dengan menunjukkan posisinya.

"Kamu nggak dengar suara unyil dari belakang?"

"Maksud Mbak Fani?"

Dia tampaknya jadi bingung atas pertanyaannya sendiri. Tidak ada kebohongan dari jawabanku. Namun aku baru saja memalsukannya, menyelundupkan kebohongan di antara kebenaran.

[Real Story] Kost Angker Pejaten Jakarta Selatan [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang