Buku Itu Berkata

15 1 0
                                    

Acara menyendiri di kamar tidak terlaksana dengan baik. Kenampakan di halaman belakang maghrib tadi membuat purbasangka menyerak di mana saja. Aku kapok dikerjai makhluk halus. Benarkah? Atau itu masih berputar pada halusinasi yang tak juga padam?

Ah, sudah-sudah, mau halusinasi atau apa pun sama-sama menyeramkan. Aku harus meninggalkan kamar ini, mencari teman di kampus atau duduk di warung kopi lebih baik.

Namun gravitasi masih menarik air dari awan, meski tinggal rintik halus. Aku berjalan ke luar, tujuannya tak pasti. Ruben terlihat di depan kamarnya, merokok sambil memandangi langit malam. Pada akhirnya kuputuskan mengobrol bersama anak ini.

"Sendiri aja, Ben!?"

Bahunya tersentak, tampaknya ia kaget akan kehadiranku. Ruben berdiri, segera menawarkan rokok. Kutolak kebaikan itu seraya mengucap terima kasih.

"Baru kelar kuliah?"

"Enggak, baru pulang rapat komunitas."

"Wah, menarik juga, komunitas apa?"Aku berbasa-basi.

"Cuma komunitas daerah, mahasiswa Minang."

Masa kuliah memang masanya berkumpul. Dalam satu universitas bisa hidup puluhan organisasi. Macam-macam bentuk dan tujuannya. Ada yang dilandasi kesukuan, hobi, agama, sampai kepentingan politik taktis.

Sementara yang telah disebut Ruben belumlah disebut komunitas kuat. Masih prematur daripada komunitas lain, terutama mahasiswa dari Indonesia timur dan Batak. Tetapi perkumpulan ini punya potensi jadi besar. Jumlah perantau Minang selalu banyak, dan organisasi merupakan wadah strategis untuk mencapai tujuan.

Percakapan bersama Ruben berlangsung kurang menarik, kecuali ia agak berguna untuk mengusir kesendirian. Barangkali kalau ada Wina suasana akan lebih hidup, sebab ia teman Wina. Tetapi wanita yang dimaksud ini entah di mana bayangannya.

Handphone di dalam kantong jaket bergetar, kuangkat saat itu juga, rupanya Moris.

"Bang, ada nih yang mau beli bayi!" suara di seberang terdengar bersemangat.

"Berapa?"

"Itulah masalahnya, cuma berani 15 juta."

"Teman?"

"Bos teman, Bang. Dia kerja di toko wine."

"Ah enggak lah, sialan! Lebih baik kita buka sendiri daripada jual segitu."
Moris tertawa dari tempatnya. Sedang yang kukatakan serius. Tidak ada untungnya tergiur Rp 15 juta demi penjualan sebotol brandy klasik yang sudah dijaga layaknya bayi. Penawaran ini seperti omong kosong di tengah gerimis, toko wine membeli Rp 15 juta lalu akan menjualnya seharga Rp 150 juta bahkan lebih. Apa bukan keparat namanya?

Padahal sesungguhnya kami akan dapat untung 74 kali lipat dari harga beli. Sedangkan si calon pembeli ini hanya akan memperoleh 9 kali keuntungan.

"Kenapa tertawa?"

Moris segera menahan tawanya, "Bukan apa-apa, Bang, gua setuju?"

"Setuju apa?"

"Setuju mendingan kita buka sendirilah!"

"Sialan!"

Moris menyambung tawanya dengan suara lebih tidak teratur. Kututup saja sambungan itu tanpa meminta persetujuannya.

***

Aku kembali ke kamar setelah merasa gagal menemukan suasana baru. Oh ya, ada tugas mendesak malam ini. Tiga makalah kelompok dari teman Wina. Alasannya jelas sekarang, mengapa Wina bersikukuh memaksaku mengerjakan makalah hubungan internasional. Sebab ia sudah merencanakan pergi malam ini.

[Real Story] Kost Angker Pejaten Jakarta Selatan [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang