Kekuatan Cerita

16 0 0
                                    

Banyak orang suka bercerita, tentang masalah, kegembiraan, atau duka. Pandangan klinis percaya, bercerita dapat menjadi cara mujarab melepaskan beban psikis. Seorang pasien kanker sekalipun akan diminta waktunya oleh dokter untuk bercerita. Dan pada penyembuhan pasien kronis, tidak sedikit rumah sakit yang menyediakan sesi konseling rutin.

Rumah ini, terlepas dari kondisi mental kami yang kurang pemberani, telah menciptakan masalah. Beberapa hari lagi mendekati satu bulan, belum ada tanda-tanda normal. Pak Wi tetap disiplin melakoni sesaji, sesuatu yang tidak mungkin dihentikan Wina, apalagi aku yang cuma tamu. Terkadang anjing kuntet berusia 8 tahun di bawah menggonggong dengan sabar di bawah tangga, terkadang juga sambil naik turun tanpa sebab.

Wina juga kerap mengalami hal yang tidak terpecahkan. Sosok pria berkaus hitam memang tidak pernah menampakkan diri lagi setelah kemunculannya yang ketiga. Tetapi pria astral itu bukan satu-satunya yang menetap di sini. Bisa jadi keliru, mungkin ia menampakkan diri melalui wujud lain.

Sekali waktu Wina pernah merasa terkunci dari luar saat sedang mandi. Sedangkan faktanya di pintunya hanya terdapat gerendel yang terpasang di dalam. Ia menjerit dengan suara serak, hingga Pak Wi dan Mbak Asih berbondong-bondong ke atas meninggalkan pekerjaannya. Namun telingaku mendengar lebih dulu, segera berlari ke kamar mandi. Pintu itu terlihat bergetar akibat Wina melabraknya tiada sudah dari dalam. Aku langsung mendorongnya tanpa sabar, bahkan menerjangnya sekuat tenaga. Percuma saja, pintu jahanam itu hanya berdiri tegak.

Yang gila, Pak Wi membiarkan aku sampai lelah. Giliran dia maju, pintu kamar mandi dengan mudah terbuka seperti ia meniup kapas. Pak Wi tak bicara banyak usai memamerkan sulap yang tidak masuk akal. "Kadang pintu yang sudah lama suka begitu."

Mudahnya dia bilang begitu? Siapa sebetulnya orang aneh ini? Pikiranku bermacam-macam, sekali saja ingin mencengkram lehernya lalu menghempaskannya ke meja makan di bawah sana.

Tidak ada simpulnya antara pintu baru atau lama dan ucapan Pak Wi yang tadi. Pintu kamar mandi ini tak bergagang, menyisakan lubang di tengah yang ditambal lakban.

Dia tahu sesuatu telah terjadi di rumah ini dan membiarkan pengetahuannya menjadi rahasia yang tertutup rapat. Ada banyak petunjuk tentang rahasia itu yang kasat mata, telanjang. Pak Wi seperti sengaja menempatkan rahasianya di tengah-tengah orang, tetapi pada ujungnya hanya dia seorang yang tahu bagian dalamnya.

Dan sudah hukumnya jika rahasia berkabut pekat itu akhir-akhirnya menjadi bahan gunjingan antara Wina, aku, dan lingkaran orang-orang yang kami kenal. Adakalanya menceritakan hal ini bukan langkah yang baik, karena sama saja membuat diri sendiri tampak bodoh. Selesai mendengar cerita, beberapa orang serempak menyalahkan dengan kata-kata, "Lo aja yang bodoh, udah tau tempat begitu masih aja betah."

Tetapi di antara yang seperti kusebutkan di atas, ada juga yang penasaran terhadap rumah indekos Wina. Sebagian yang lebih sedikit lagi menunjukkan empati, bahkan ada yang sampai memberikan referensi kos, meski tidak pernah cocok dengan berbagai alasan.

Sebagian yang penasaran tertarik datang untuk melihat langsung, bahkan sampai menginap. Dengan sendirinya kamar Wina kerap dibesuk teman-temannya. Ini cukup membantu, dan aku semakin percaya terhadap kekuatan bercerita.

Namun dunia gaib bukan panggung teater yang dapat dilihat dan jadi bahan tontonan setiap orang. Hanya sedikit yang mengaku pernah merasakannya dari melihat, mendengar atau mengamati tanda-tandanya. Kebanyakan yang lain malah beranggapan rumah itu baik-baik saja, kecuali Wina dan aku yang terlalu tekun merawat rasa takut.

Dari yang sedikit itu adalah Moris, teman dekatku, seorang yang cukup berani dan tinggal di sebuah kantor sewaan kakaknya yang juga konon berjin. Ia menempati satu kamar di bagian paling belakang. Statusnya setengah anak kos, selebihnya tidak jelas. Moris kerap datang karena ia suka kamar yang luas dan peraturan yang longgar dari pemilik kos. Beberapa kali juga anak ini bermalam, padahal antara rumahnya dan kos Wina cukup 5 menit berjalan kaki.

Suatu malam Moris mengetuk pintu kamar Wina. Mereka sudah saling mengenal dan akrab. Aku datang tak lama kemudian dan mendapati Moris membawa tentengan berisi mi instan dan telur. Sebagai mantan anak kos, aku tahu apa yang bakal ia perbuat dengan isi kresek itu.

"Lapar?" pertanyaanku ini sebetulnya diselipi niat mencela.

"Buat begadang, bang," dengan bilang begitu kemungkinannya malam ini Moris akan menginap. "Di bawah boleh masak kan, bang?"

Aku tak menjawabnya, melainkan memeriksa seluruh isi kantong plastik itu. Ternyata ada banyak lagi di situ selain mi dan telur. Rokok, snack, kartu permainan, soft drink, dia menyiapkannya seperti akan pergi jalan-jalan.

"Menang poker?" tanyaku memastikan, sebab Moris sering tidak terduga hidupnya.

Tetapi juniorku satu fakultas ini hanya terkekeh.

"Baru dikasih abang lo ya?" kata Wina ikut mencecar.

"Utang warung, bang."

Astaga! ada-ada saja pikirannya. Untuk berkunjung kamar orang lain saja dia berani berutang, apalagi kebutuhan yang lebih penting. Wina mengomelinya sedikit, tetapi juga bersyukur.

"Utang di mana?" kataku menyelidik.

"Itu, yang dekat kampus."

"Memang cuma satu warung dekat sana?"

"Yang langganan abang itu."

Oalah, ternyata di situ rupanya. Tapi omong-omong aku baru tahu dia sering belanja di situ juga. Biasanya pemilik warung tidak sembarangan membolehkan pembeli bayar belakangan, kecuali para pelanggan.

"Eh, kau sering juga ya belanja di sana? Bukannya di sebelah kantor abang kau ada warung grosir?"

"Kan satu kampus kita ini bang. Gimana pula abang ini."

"Ah, kau kan nggak pernah ke kampus kecuali ujian dan bayar semester!"

"Tapi kan yang penting aku pernah temani abang belanja di sana."

Lho, maksudnya apa ini? Sepertinya ada bau busuk yang ditutupi di dalam kepalanya.

Dan sesaat kemudian tawanya meledak, seolah-olah sejak tadi disimpan-simpan. Padahal aku tak melarangnya tertawa. Tawa khas orang Tarutung, berat, menggema, hingga membuat unyil terbangun dan langsung menyalak berulang-ulang.

Namun aku malah tak berdaya, menerima nasib dikerjai dengan cara begini.

"Jadi apa aja yang lo ambil, Mor?" Wina langsung mendesak tanpa marah, lebih mirip ingin ikut tertawa.

Moris lekas menghitung sambil menyebut apa-apa yang ia bawa.

"Cuma rokok 3 bungkus, rokok abang 2, kacang, indomie 4, telur setengah, kopi, cokelat, ya inilah!"

Anak ini perlu dicurigai, secara naluriah mataku menggeledah Moris dari ubun-ubun sampai jempol kaki. Dan ia akhirnya mengeluarkan sebungkus rokok yang lain dari saku jaket.

"Aku ambil dua bang, buat main poker nanti malam."

Sudah kukatakan, anak ini sulit ditebak. Gampangnya, dia datang ke warung, mengatakan pada yang punya bahwa aku menyuruhnya mengambil beberapa barang, bayar belakangan. Entah bagaimana, dengan mudahnya pemilik warung percaya begitu saja.

"Totalnya Rp 88 ribu bang," kata-katanya tertata seraya menyodorkan secarik struk yang tidak pernah kuharapkan.

"Kantong gue lagi lecet, Moris," ujarku pasrah. Sebab biasanya aku membayarnya paling lambat dua hari.

"Tenang, bang, malam ini gua menang banyak, besok gua bayar."

"Jadi niat lo sebenarnya nggak mau main ke sini kan, Mor? Parah lu!" ujar Wina mengipas-ngipasi suasana.

Aku hanya menggeleng tak habis pikir. Sedangkan Moris malam ini kenyataannya tak pernah bisa pulang untuk mengadu kartu

[Real Story] Kost Angker Pejaten Jakarta Selatan [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang