Pencarian

12 1 0
                                    

Wina mengatakan, ia mendengar Pak Wi berkata,

“Mula-mula, buka jendela kamarmu pagi ini. Bersihkan semua yang kotor, dan terakhir singkirkan benda-benda bertuah jika kamu atau pacar kamu menyimpannya. Saya akan memulainya nanti sore saat langit merah. Hari ini, hindari pulang lewat tengah malam, tapi juga jangan terlalu sore. Kalian tidak akan menemukan apa-apa selain tengkorak krambil* di salah satu sudut kamarmu.”

“Jika melihat wadah berisi beras panca warna dan kembang-kembang itu, biarkan saja seperti kalian membiarkan barang-barang milik pribadi kalian. Tidak akan ada gangguan sampai kalian yang lebih dulu mengusik wadah itu. Selanjutnya kamu tidak perlu membayar lebih banyak daripada hari ini. Ini hanyalah pembuka, saya hanya memberikan yang terbaik sesuai keinginannya.”

Setelah Wina bertutur, tanggapanku singkat dalam hati. Omong kosong!

Pertama, kami membuka jendela saban waktu kecuali angin begitu kencang atau hujan begitu lebat. Kami juga senantiasa membersihkan kamar. Yang paling menjengkelkan, ia menuduh ada barang magis yang kami simpan. Sebetulnya bukan tuduhan, kecuali aku yang terlalu sensitif padanya.

Namun rasa jengkel itu tak lantas mengubah pikiranku. Biarlah Pak Wi melakukan sesuka-suka hati asalkan mampu menghentikan teror.

Aku dan Wina keluar untuk beraktivitas pukul 10.30. Lembar soal ujian tengah semester sudah menunggu. Selintas teringat Moris. Ia bakal terhambat mengikuti ujian jika tidak segera membayar cicilan uang semester.

“Kamu selesai ujian jam berapa?” tanya Wina.

“Kira-kira 5.30 sore. Ada rencana?”

“Aku baru selesai jam 6.30 malam. Mau temani aku cari tempat baru?”

“Ayo!”

“Sekarang kita cari Moris dulu. Ehm, kamu tahu, ada kabar dari Anton? Nyesek...”

“Sudah enggak usah diungkit. Tadi aku baca inbox kamu.”

Wina diam saja, termasuk tak memarahiku karena membuka wilayah pribadinya tanpa izin. Sebab ia lebih sering melakukannya.

Mudah menemukan Moris di kampus karena tempat menetapnya hanya satu, yakni kantin. Ketika kami datang, Moris memasang wajah setengah cemas setengah ceria. Hanya kantung matanya tampak turun, tanda kurang tidur.

Kampus ini tak pernah berubah. Selalu hijau dan santai. Tidak begitu jauh dari kantin, di sebelah barat ke arah Masjid Sutan Takdir Alisjahbana, beberapa pegawai tampak sibuk memeriksa pompa penyedot air. Jangan tanya seperti apa kalau hujan deras mengguyur. Mungkin terkesan berlebihan bila kusebut kampus terapung. Itu acap kali terjadi. Bencana musiman yang sudah menahun. Hujan dua jam, banjir tiga jam. Maka mesin penyedot air yang sedang diperiksa itu punya kedudukan yang sangat terhormat di kampus ini.

Namun kehadiran mesin tersebut tidak begitu saja menghentikan banjir. Dasar tanahnya lebih rendah dibanding sekitarnya. Banyak yang cerita, lokasi ini dulunya rawa. Barangkali jika aktivisme lingkungkan saat itu semarak sekarang, aku tidak pernah melihat kawasan bangunan ini.

“Percuma aja itu, kemarin banjir juga,” ujar Moris nyinyir sambil menunjuk mesin penyedot. Seolah-olah dia mengetahui yang sedang kupikirkan.

“Lama banjirnya?”

“1 jam lah, Bang. Tapi hampir masuk ke selasar.”

“Syukurlah enggak sampai berjam-jam kaya dulu.”

Seorang mahasiswa berwajah baru yang tidak kukenal menimpali, “Tetap saja Bang, banjir 1 jam juga motor gue ngadat.”

Sungguh benar perkataan anak itu. Barangkali perkara mesin kendaraan ngadat tidak pernah jadi perhatian serius para pemangku urusan. Padahal kerugiannya dapat diperkirakan dan pasti tidak main-main. Civitas akademika dipaksa menanggung biaya tersembunyi yang tak mereka inginkan pada tiap musim.

[Real Story] Kost Angker Pejaten Jakarta Selatan [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang