Waktu berputar lincah sehingga Selasa. Ada kado istimewa pagi-pagi ini. Langit membiru terang dan telanjang!
“Jangan dulu senang,” setengah berbisik Wina di belakang ketika aku membuka jendela dan Cumiik tak tertahan.
“Ini cuma harapan. Kamu berharap sama juga, kan?”
Kudengar langkah Wina menjauh, rupanya berjalan mendekat ke lemari. Sepasang pakaian dipilihnya. Tak lain kaos berlengan panjang dan celana jins skinny.
“Aku mandi duluan, ya.”
“Baru jam 7?” aku protes, menduga ada yang tak wajar. Ujiannya saja baru dimulai menjelang siang.
“Papaku di Jakarta, katanya mau ke sini.”
“Papa? Papamu yang asli?”
Reflek Wina melempar barang sekenanya—ia mendapat pouch kosmetik—untuk menjawab pertanyaanku. Aku hanya terpingkal melihat lemparannya yang begitu meleset.
Tetapi ucapannya yang sebelumnya benar-benar tidak bisa dianggap lelucon. Aku pun bergegas menyiapkan pakaian, menunggu giliran mandi.
Mandi dan rapi-rapi selesai dengan cepat. Kecuali—harus kuulang, menunggu Wina menata alisnya. Diperlukan mendengarkan setengah album musik supaya tak jenuh. Sayangnya aku tak punya pemutar musik. Alhasil menghisap tembakau saja sambil melansir pandangan ke luar jendela lebih baik sekarang. Dua batang tuntas barulah Wina menepuk bahuku dua kali.
“Ayo keluar!”
“Katanya papamu mau ke sini?”
Wina tak menggubris. Jadi begini caranya mencari alasan supaya orang tua tak perlu patroli, pikirku.
Di bawah tangga aku menemukan Pak Wi tengah membungkuk di depan taman air. Tangannya terlihat lentik menaruh cawan. Derap langkah menyela keasyikannya sejenak.
“Tumben Mbak Wina dan Mas Alvin sudah mau jalan.”
“Iya, Pak Wi. Ada urusan,” sahut Wina dengan senyum.
“Nanti sore saya pinjam kamarnya.”
“Kalau hujan bagaimana, Pak?” aku bertanya.
“Ndak, ndak mungkin hujan.”
Aku cukup mengangguk tetapi banyak tanya berkeliaran di kepala. Mudah saja dia memprakirakan tidak akan turun hujan.
***
Wina tak memberitahu kalau mau mencari kamar kos. Pagi-pagi begini mestinya kurang pas. Namun mumpung ada waktu apa salahnya. Mungkin, mungkin saja keberuntungan tak terduga singgah hari ini.
Satu demi satu rumah indekos di bilangan Pejaten kami tanyai, bahkan dua di antaranya pernah kudatangi. Hasilnya penuh, penuh, penuh, penuh, penuh, penuh, penuh, penuh, penuh, penuh, penuh, penuh, terlalu mahal, ortodoks, kosong!
Dua kamar tak berpenghuni berada si suatu gang senggol, lebih dekat ke Jalan Raya Pasar Minggu. Sinar matahari agaknya setengah hati masuk ke kamar itu. Ukurannya pas-pasan, kamar mandinya hanya selebar tak lebih empat jengkal dan ventilasinya lebih sempit daripada lubang tikus. Tapi penjaganya memberitahu harga sewa yang membuat hati tergiur.
“Tiga ratus ribu per bulan,” ungkap seorang wanita tua yang segan memperkenalkan namanya. Kerut di wajah dan tangannya memberi tanda ia hidup lebih lama dari Pak Wi.
“Tiga ratus ribu? Sudah listrik?” Wina bertanya bersirat kagum.
“Semaunya kalian, asalkan tidak bawa AC dan kulkas.”
Nenek itu mematikan lampu kamar dan berisyarat mengajak ke luar. Ia berkata lagi, suaranya masih kokoh dan jelas, “Kalau berdua ada tambahan empat puluh empat ribu.”
KAMU SEDANG MEMBACA
[Real Story] Kost Angker Pejaten Jakarta Selatan [Complete]
HororCerita berikut adalah kisah nyata yang sempat fenomenal di Kaskus pada tahun 2016. Saya sebagai reuploader sudah mendapatkan izin dan restu dari pihak pertama. Selamat membaca and Stay Creep...