Dapat Kost Baru

12 1 0
                                    

Seorang kawan dekat di fakultas baru saja selesai bercerita tentang kamar kosnya yang baru ditempati satu bulan. Ukurannya tak berapa luas, tapi dia sudah merasa nyaman dan peraturannya cukup longgar. Minusnya, harga kurang pas di kantong.

Namun informasi itu dilematis bagiku. Sebab ciri-cirinya persis cocok dengan ramalan penulis tak berwujud. Terletak di utara universitas serta dapat dijumpai pohon mangga yang lebat. Sebetulnya bisa saja ini kebetulan. Tapi yang penting berusaha, bukan?

“Lo bilang ada yang kosong satu, betul kosong itu, bukan pura-pura kosong?” aku meminta kepastian.

“Kosong! Gak percaya amat, sih!? Gue sendiri yang lihat nyokap sama bokapnya angkat-angkat barang abis anaknya dikubur.”

“Dikubur? Stres lo. Kenapa?”

“Bunuh diri. Di kamar itu.”

Wajahku saat itu juga berubah pahit dan pucat. Untungnya temanku hanya membual.

Belum sempat berterima kasih aku langsung menuju area parkir motor. Urusan kos tak boleh ditunda-tunda. Lambat satu jam saja bisa-bisa jadi rezeki orang lain.

Belum lagi lima menit tujuanku sudah di depan mata. Cukup melihat gerbangnya yang megah aku sudah pesimis Wina bakal tinggal di sini.

Seorang pria kurus membukakan pagar setelah lama pencet-pencet bel. Masuklah aku bersamanya. Agaknya orang ini penjaganya. Benar. Dia mengoceh dan bertanya banyak. Tutur kata dan sikapnya ramah pada kesan pertama. Tetapi lama-lama aku melihat dia sepertinya lebih suka menjadi perempuan daripada keadaannya yang sekarang.

“Masuk aja beb,” ujarnya begitu membuka satu kamar kosong tersisa.

Satu juta rupiah sewa, AC, kamar mandi di luar, parkir mobil tambah 100 ribu, parkir motor gratis, kulkas dan dapur bersama, air minum, dan jam malam bebas. Begitu saja yang kujelaskan, sebab selebihnya penjaga kos ini hanya mengomentari potongan rambut dan tinggi badanku.

“Kalau di sini terserah kamu beb mau pulang jam berapa. Banyak anak malam juga kok soalnya. Mau gak pulang juga gak apa-apa, paling aku yang nyariin, asal jangan lupa bayar kos. Misalnya cucok hubungi aku aja. Kamu pake BB? Sini aku invite. Aku sampe pagi masih melek loh.”

Belum hapus ingatanku ketika kali pertama bertemu Pak Wi. Pembawaannya yang tenang dan terkesan misterius. Tetapi yang satu ini sepertinya jauh lebih misterius. Jadi menurutku lebih aman jika tidak meninggalkan apa-apa untuknya.

Meski begitu, indekos ini terlihat bagus dan menarik. Juga harga sewanya ternyata masih bisa diupayakan. Karena itu tak boleh juga aku membuat penjaganya sakit hati.

“Di sini gimana, kak, aman?”

“Ih, kok aman, sih? Ya aman lah, ini kan kos-kosan bukan terminal.”

“Maksud gue, kalau malam misalnya, enggak pernah ada yang aneh gitu.”

“Aneh? Gak lah, di sini pada normal kok orang-orangnya.”

“Misalnya suara-suara...”

Tahu-tahu penjaga itu terkikik nyaring. Untung saja baru masuk sore, jadi suaranya kurang mengerikan.

“Kalau suara-suara sih banyak dong beb. Apalagi yang kamar itu tuh, baru pindah,” telunjuknya yang pipih mengarah ke sebuah pintu di lantai dua dan menyebut nama penghuninya, “Ih, tiap malem bikin keki deh. Hot banget kayanya, sampe merinding!”

Masih ada gosip dewasa lainnya tentang penghuni kamar tersebut. Yang dimaksud si penjaga kos tak lain ialah kawanku. Tanpa diduga aku jadi tahu sedikit ceritanya. Namun temanku tak pernah tahu aktivitas seksnya menyebabkan penjaga kos ini cemburu. Bukan padanya, melainkan terhadap pacarnya.

Maka kuputuskan Wina akan pindah ke rumah ini. Mumpung ada sedikit uang untuk dipanjer, kuberikan langsung pada penjaganya. Tak lama kemudian dia menyerahkan bukti pembayaran.

Semoga keputusan sepihak ini tak salah. Agaknya Wina cepat menyukai rumah kos ini jika sudah melihatnya.

“Kamu gak berdua kan beb? Kalau berdua nambah lagi kaya teman kamu itu. Tapi misalnya kamu mau nginep weekend aja gratis kok. Kamar aku juga kosong.”

Hahh, mau seribu kali dia bertingkah lebih dari itu apa peduliku. Yang penting masalah ini hampir selesai. Semangatku seketika begitu menyala. Akhirnya!

“O iya, beb, mau pindah kapan?”

Kujawab tandas, “Segera!”

“Siapa nama kamu? Eh, bebeb kamu maksudnya.”

Kusebut nama Wina dan namaku agar dia puas.

“Kalau aku Naruto,” katanya lembut dan membuatku bergidik. “Becanda kok, beb. Nama aku Narto.”

Beberapa meter keluar dari gerbang, terngiang janjiku pada Mbak Fani. Mudah-mudahan kepindahan Wina tak menjadikanku ingkar janji.

[Real Story] Kost Angker Pejaten Jakarta Selatan [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang