Tembus Pandang

11 3 0
                                    

Ketika Pak Wi membuka pintu koboi untuk turun tangga, aku langsung menyerbu buku catatan. Kira-kira beberapa lembar terakhir mediasiku dengan informan tak kasat mata kurobek. Aku tak sempat memeriksanya lebih teliti. Tujuanku sekarang ke kamar mandi untuk membakar catatan itu. Sambil lalu sempat kuintip ruangan bawah, Pak Wi kembali disibukkan oleh siaran televisi.

Kertas-kertas itu kurobek secara acak menjadi tiga potong. Tiap potongan aku membakarnya hati-hati. Api cepat melalapnya menjadi abu. Aku sadar bahwa mengerjakan ini cukup berisiko. Pak Wi bisa saja mencium asap. Entah sebab apa pikiranku mendesak agar bukti percakapan ini lekas dimusnahkan.

Tetapi ada yang mengganjal benak. Ya, baru saja aku merasakan keanehan. Sepertinya aku hanya membakar lembaran kosong. Aku tak melihat tulisan. Benarkah?

Sialnya kertas-kertas sudah jadi abu. Perasaan tidak bisa dibuktikan. Atau boleh jadi mata yang silap.

Tidak sampai lima menit pekerjaan ini beres. Bekas pembakaran kertas hanyut ke dalam tangki tinja. Aku menyiramnya berulang-ulang, memastikan tidak tersisa setitik pun abu.

Kemudian tak lupa membuang sedikit air zam zam bajakan agar sisanya bisa dikembalikan dengan cara baik-baik.

Keluar dari kamar mandi, sekali lagi kutengok Pak Wi. Sekarang dia berdiri di sisi meja makan sambil melihat-lihat selembar kertas. Aku percaya itu adalah kertas yang sama dengan yang sebelumnya. Terdapat kotak-kotak bersusun dan angka-angka. Menurutku kotak-kotak itu semacam rumus togel. Ada-ada saja dugaanku ini.

Sudah satu jam berlalu sejak aku kembali ke rumah ini. Apa lagi yang bisa dikerjakan sekarang, tanyaku sendiri. Uh, omong-omong yang tadi, aku penasaran pada tingkah Pak Wi. Jangan-jangan dia tahu. Kemarin dia sendiri yang mengaku mendapat bisikan tentang yang gaib-gaib. Mungkin juga malam ini bisikan itu turun.

Lamunan singkat buyar oleh karena dering telepon. Wina.

“Kamu di mana?” tanya Wina tanpa alih-alih.

“Di kosan kamu.”.

“Enggak apa-apa sendirian?”

“Ada apa, kamu di mana?”

“Di kosan teman aku, masih dekat kampus. Eh, katanya tetangga sebelah kamarnya mau pindah.”

“Oh gitu,” kataku datar, “di mana tempatnya?”

“Sebelah Islamic Cultrural Centre.”

Wina bicara lebih banyak lagi. Ada upaya menahan obrolan lebih lama. Aku yang mulanya dingin lama-lama jadi hangat. Utamanya karena ia akhirnya bisa mendapat tempat tinggal pengganti.

Kata Wina, DP sudah dibayar, dengan catatan kepindahannya dapat terlaksana paling cepat dua pekan lagi. Dia mengatakan tak masalah menunggu lebih lama sambil berpindah-pindah. Katanya masih cukup banyak temannya yang bisa ditumpangi bahkan sampai tiga bulan ke depan.

“Tempatnya enak. Banyak mahasiswa UNAS juga.”

“Terus?”

“Seru kayanya di sini. Tadi anak-anak kurang kerjaan panen mangga orang.”

“Panen mangga?”

“Iya, di rumah yang sebelahnya lagi ada pohon mangga lebat banget. Sebagian dahannya masuk ke kosan ini, jadi pada ikut panen.”

Wina tertawa senang. Tiba-tiba ingat hantu penulis yang pernah mengabarkan ciri-ciri kos Wina. Kupikir sebelumnya itu rumah yang dijaga Narto. Dua-duanya sama terletak di utara dari rumah ini.

“Kabarnya rumah itu juga ada jinnya,” niatku hanya sambil bercanda. Ciri-ciri itu sempat disebut dalam buku mediasiku.

“Kok kamu tahu? Temanku bilang begitu. Ada yang pernah lihat, tapi katanya enggak over acting.”

[Real Story] Kost Angker Pejaten Jakarta Selatan [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang