Penutup

21 1 0
                                    

Di sebuah area apartemen yang ramai. Berblok-blok menaranya, sepuluh, tetapi dengar-dengar sedang ditambah dua. Orang banyak berlalu-lalang, begitu padat seperti semut saja jumlahnya. Entah bagaimana jadinya nanti, sepuluh tahun lagi, dua puluh tahun lagi.

Seorang pria asing—sungguh asing, mengesankan orang-orang dari daratan Afrika atau paling jauh campuran Afrika-Arab—lewat di samping dan tersenyum. Tinggi badannya. Kira-kira hampir setinggi pintu dua meter. Seorang gadis menggapit tangan pria itu dari belakang—aku percaya dia belum menikah. Gadisnya gadis lokal. Sikapnya diatur sedemikian perhatian pada lelaki tersebut. Mereka duduk di belakang mejaku. Bicara lamat-lamat dalam Inggris. Kedengarannya patah-patah dan acap kali saling tidak mengerti. Aku bisa menjamin mereka baru kenal. Sebetulnya gadis itu pernah kutemui. Lima atau enam kali kesempatan. Aku akhirnya pasti ingat, tujuh kali. Namun aku tak mau mengganggu pekerjaannya meski hanya menyapa.

Kecuali saat lelaki Afrika tersebut beranjak ke dalam kafe untuk memilih pesanan, wanita itu bertanya lebih dulu, “Ada perlu apa? Pekerjaan?”

Akhirnya dia masih mengenaliku. Tanpa menoleh aku menjawab, “Bukan apa-apa. Biasa.” Dia tertawa, mungkin ingat dirinya sendiri. Kemudian bertanya lagi, “Blok apa? A, B, C, F, H, J?”

Mengapa dia bersemangat untuk tahu? Sekarang aku malah yang merasa terganggu. Sekali lagi dia bertanya. Maka kujawab, “Jasmine.”

“Aku sekarang tinggal di situ.”

Dengan cepat aku memutar kepala, “Kalau begitu kamu mungkin kenal dengan…..,” kuucapkan sebuah nama. “Aku punya janji dengannya.” Apa maksudnya bertanya begitu? Puluhan ribu manusia tinggal dalam 10 atap, memangnya bisa kenal?

Namun wajahnya tiba-tiba saja pucat. Aku yang menatapnya segera mau tahu apa gerangan wajah yang sudah dihaluskan itu jadi berubah kasau.

“Dari mana kamu kenal dia?” Pertanyaannya ringkas tetapi terasa mendesak. Apa harusnya dijawab? Ia melanjutkan, “Kamu bukan sedang bercanda, bukan?”

“Aku harap dia bukan saudarimu,” ujarku asal.

“Dia sudah meninggal tiga hari lalu. Polisi mengangkat jasadnya menghitam. Bagaimana kamu datang ke sini?”

Kupelototi wajah itu seperti musuh, “Dari mana kamu bisa bilang begitu?”

Ia memundurkan kursi, raut rona pada pada keningnya makin menggaris, “Semua orang di sini tahu.”

Aku segera bangkit dengan kasar, berdiri sejenak ala kadarnya lalu meninggalkan tempat itu. Antara sebentar aku mundur lagi cuma untuk meletakkan uang pesanan di meja. Wanita itu terheran-heran, meski prianya sudah kembali.

Melangkah menjauhi keramaian, antara percaya atau sebaliknya. Semalam aku menelepon perempuan yang dikatakan sudah meninggal, berjanji menemuinya hari ini guna mendengarkan kisah. Itu bukan kisah yang main-main.

Cepat-cepat aku menghubungi nomornya. Tidak terjawab. Sekali lagi, berkali-kali, hanya denging yang mengakhiri panggilan. Hingga beberapa saat kemudian, dari kutipan petugas keamanan blok Jasmine, aku percaya perempuan yang punya janji denganku itu sudah meninggal.

“Seperti pembunuhan yang dilakukan tidak terlihat, ia sama sekali tidak cantik ketika mati,” seorang satpam menuturkan.

🎉 Kamu telah selesai membaca [Real Story] Kost Angker Pejaten Jakarta Selatan [Complete] 🎉
[Real Story] Kost Angker Pejaten Jakarta Selatan [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang