Gaun Bersulam

13 2 0
                                    

Takut adalah awal kekacauan. Dan ketika seseorang kembali pada kesadarannya, ia baru tahu kekacauan itu sudah di depan mata.

Aku bangun agak kesiangan. Kususun-susun serpihan pengalaman kemarin, kemudian aku menemukan hal yang sebelumnya tidak mendapat perhatian.

Gelas Mbak Fani masih ada di kamar Wina!

Lapar, gerah, bau mulut tidak lagi soal. Aku segera bergegas pergi, tak lupa berterima kasih pada temanku yang mau berbagi kasur. Di depan gang kuhunus jari, mikrolet berhenti. Dengan begini aku menghemat lima menit sampai di rumah kos Wina.

Hanya sebentar mobil angkot biru muda itu sudah berhenti di depan rumah berpagar hitam. Aku turun setelah membayar, membuka pagar yang tidak terkunci. Setengah berlari aku sampai di kamar Wina. Ternyata ia sedang bersiap-siap pergi.

"Kamu ke mana kemarin?" sebelum ia curiga soal gelas, aku harus menyerangnya duluan.

"Ke rumah om aku di Depok," jawabannya tenang.

"Kenapa nggak bisa dihubungi?"

"Gimana bisa!" Wina menyela bedak, menunjukkan ponselnya sambil memencet-mencet, "Udah matot benda ini, kesel!"

"Kamu kok enggak sekalian bilang di kertas?"

"Mendadak."

"Tumben? Ada apa?"

"Mau minta tambahan beli hape baru lah! Emang apa lagi?"

Sebaiknya aku tak perlu panik, lagipula Wina tampak tidak menaruh curiga sedikit pun. Tangannya terus merapikan alis. Soal alis aku malas mengganggunya dengan pertanyaan, sebab bagian itu adalah keahliannya.

Mumpung Wina sibuk, lebih baik aku mandi. Kalau pekerjaan yang ini aku pakarnya. Biasanya tidak sampai lima menit semua sudah beres.

Dan empat menit kemudian aku kembali ke kamar. Wina mengukur dua alisnya sebagai tanda tahap itu hampir selesai.

"Yang," ia memutar lipstik sebentar, "Kamu semalam sama siapa?"

Inilah pertanyaan sesungguhnya. Untungnya kesegaran air membantuku berpikir cerdik.

"Sendiri, kenapa?"

"Itu gelas punya siapa?"

"Oh itu dari bawah, kemarin aku bikin kopi di dapur."

"Lho, kenapa nggak di sini?"

"Air dispenser kurang panas."

"Masa sih? Kemarin lusa aku bikin teh panas aja."

"Teh dan kopi beda dong."

"Kata siapa? Kopi cuma perlu 95 derajat kok, dispenser kita kan 97, paling kurang-kurang jadi 95 atau 93."

"Ya itu udah enggak enak," aku masih membela diri.

"Sok tahu kamu. 95 derajat itu kata barista lho."

"Kamu juga sok tahu. Kata barista warkop justru air mendidih."

"Dasar norak!" katanya sembari tertawa mengejek, "terus kamu dua kali bikin kopi di bawah? Ya Allah, segitunya."

Untunglah ia menyimpulkan sendiri. Wina sudah selesai bersolek, giliran aku menyelesaikan bagianku. Hanya menyemprot parfum, itu pun habis. Jadi kuminta miliknya, kebetulan Wina suka aroma unisex. Tentu saja aku harus menerima sedikit cemoohan lebih dulu sebelum ia mengizinkannya.

"Eh, yang. Mbak Fani itu cantik nggak?"

Sebenarnya apa sih tujuannya, aku menggeram di hati.

"Cantik."

[Real Story] Kost Angker Pejaten Jakarta Selatan [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang