Akibat Bolos Sholat Jum'at

63 2 0
                                    

Garasi rumah kos Wina. Mesin motor baru saja mati. Aku memandangi kamarnya sekilas di lantai dua. Belum lagi menggapai anak tangga handphone di kantong jaketku bergetar. SMS dari Wina, "Aku ada event, baru aja jalan. Kunci di sepatu biru."

Aku menaiki tangga, mencari kunci, ketemu. Huft! Matahari Jumat selalu lebih panas. Khutbah Jumat sudah berkumandang. Meski masjid jaraknya hanya terpisah tembok, rasanya amat jauh. Jujur saja, malas. Aku belum tidur sejak malam, insomnia tanpa alasan.

Pintu kubuka dan segera kurebahkan badan di kasur. Tidak ada lagi yang kuingat sampai kudengar sayup-sayup pintu digedor.

Aku terjaga, hari belum gelap. Reflek aku mengintip lewat jendela yang menganga sedikit. Oh, Wina.

Selanjutnya aku mendengar banyak cerita. Ini hari pertama ia bekerja seumur hidup. Hanya paruh waktu, tetapi bagaimana pun pasti terasa spesial. Aku mengajaknya makan di luar dan mulutnya terus saja mengoceh pengalaman kerja pertama. Tidak terasa malam pun turun, aku pamit pulang.

Esoknya aku bertemu Wina. Agak berbeda dari kemarin, sekarang kami kehilangan obrolan. Aku tak berusaha mencari tahu sebabnya, tapi akhirnya dia berkata, lirih dan tidak masuk akal.

"Aku diusir ibu kos."

"Lho!?" Hanya itu yang bisa kuucap sambil menduga-duga alasannya. Aneh saja.

Setelah mendengar penjelasannya, kurasa itu semakin tidak masuk akal. Konon pembantu ibu kosnya kemarin mengintip kamar Wina. Tahu kalau aku ada di kamar, ia segera melapor ke majikan. Tanpa babibu, keputusan langsung diambil; Wina harus pindah paling lama pekan depan.

Hanya maaf yang bisa kulakukan. Ia menahan lembab di matanya, tetapi tidak berusaha menyalahkanku.

Mungkin memang seperti ini jalannya, mau buat apa lagi kecuali mencari tempat tinggal baru. Namun tetap saja konyol, bahkan setelah kupikirkan berulang-ulang. Kemudian aku baru sepenuhnya percaya bahwa itu kelalaianku.

Tidak ada banyak waktu menahan penyesalan. Esoknya aku segera menemani Wina mencari rumah kos. Awalnya jalan raya, semakin masuk, kian jauh lagi, belum ada yang cocok. Kendalanya tak jauh dari harga, lingkungan, dan fasilitas. Waktu mengendap tanpa hasil. Saat gelap kami baru tahu hari itu sudah sia-sia.

Sampai lima hari cerita masih sama. "Ya Tuhan!" Wina mendengus, jelas-jelas kesal. "Nyari tempat tinggal bayar aja susah, apalagi gratis!"

Aku tertawa tanda setuju, "sama kaya jomblo, nyari pacar pakai modal aja susah apalagi gratisan."

Sambil terus mengobrol aku mengitari Pejaten, entah sudah yang ke berapa kali ini. Tiba-tiba kakiku reflek menginjak tuas rem. Sebuah rumah, bentuknya seperti rumah pribadi, bangunannya masih bagus. Di pagarnya menggantung secarik kertas "DISEWAKAN KAMAR KOS". Ya, begitu saja.

Seketika kami mengutuk usaha berhari-hari. Tentu saja, rumah indekos ini jaraknya dekat dengan kos Wina sekarang, lokasinya bahkan terang-terangan di pinggir jalan raya. Aku meringis, lebih disebabkan senewen ketimbang senang.

"Mahal nggak, ya?" suara Wina menggumam dari pada bertanya, “Eh ngomong-ngomong Ruben kos di sini, tahu.”

Mana aku tahu siapa Ruben, tapi jelas itu temannya.

Pertanyaan yang wajar dari Wina. Rumah ini cukup bagus, sejelek-jeleknya kuduga pernah jadi rumah gedongan. Pagar 2 meter, temboknya kokoh dan bercat putih, seperti umumnya rumah yang dibangun pada 1980-an.

"Kecuali masuk, kita nggak tahu mahal atau enggak?" Wina mengangguk saja tanpa membantah.

Kucoba membuka pagar. Ah, terkunci! Gemboknya cukup besar, bel pun tidak ada. Maka yang paling mungkin memberi salam. Tapi percuma saja, agaknya semua penghuni sedang keluar, atau mereka percaya, membukakan pagar bukanlah tugasnya.

Sempat menyerah sebentar, aku mencoba lagi, dan lagi hingga kepala terasa panas.

"Cari siapa, Mas?"

Logat Jawa kental itu terdengar dari balik pagar, tetapi seolah menyapu dekat daun telingaku. Aku berbalik badan.

"Masih ada kamar kosong, Pak?" Wina menyahut lebih cepat.

Aku memperhatikan pria itu. Tubuhnya pendek, kecil, dan matanya agak sayu. Tetapi orang ini selalu kelihatan tersenyum. Usianya kutaksir 65 tahun.

"Mari masuk," pria gaek ini membuka pagar tanpa berkata lebih.

[Real Story] Kost Angker Pejaten Jakarta Selatan [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang