Aku Menyerah Ikut Ritual

14 2 0
                                    

Pak Wi melangkah melewati aku. Fani menyusul tanpa menatapku meski dengan tatapan ala kadarnya. Aku berbalik arah memperhatikan langkah mereka yang kecil. Selanjutnya keduanya berjalan beriringan ke arah kamar terujung. Aku diam seperti batang pohon yang meranggas di puncak kemarau. Sampai saat sekarang belum juga ingin meyakini kenyataan. Aku masih berharap ini bukan kenyataan.

“Aku enggak bisa memberikan peti ini,” demikian sikapku pada Pak Wi. Tetapi ia tidak peduli. Tidak juga memaksa-maksa dengan tenaga. Ia lebih suka pergi begitu saja sehingga itu menjadi lebih melelahkan buatku.

Pintu kamar tidak aku biarkan menganga, kemudian aku berpikir untuk sementara waktu. Beberapa waktu yang lalu, sebelum dan saat mereka baru tiba, segalanya begitu jelas. Aku berhasil menggabungkan serpihan-serpihan yang tampak rumit menjadi suatu hipotesis, bahkan kesimpulannya. Namun dalam waktu yang sangat singkat semua itu buyar.

Bagian dari sinopsis yang sama sekali aku gagal mengerti justru datang di saat-saat genting. Mengapa aku lalai mengejar makhluk gaib yang berada di balik misteri. Ini sungguh pahit buatku. Penceritaan Pak Wi tidak dapat kutangkis dengan dalil yang lebih kuat. Sukma memang manusia, aku harusnya paham! Ketika ia mati sekali, maka itu kematian yang akan berlangsung selama-lamanya!

Mestinya sudah menjadi sangat terang: Sukma telah berubah jadi serpihan abu. Mas Haji Satar juga tidak lebih dari abu. Petunjuk seperti ini baru dapat aku mengerti sekarang. Pak Wi benar, Sukma sudah mati, apa lagi yang bisa aku cemaskan. Begitu pun Mas Haji Satar. Keduanya tidak mungkin bisa mengadakan perjanjian. Abu mereka adalah tongkat estafet terhadap perjanjian yang dimaksud.

Hanya Haji Mufid seorang yang dapat memperoleh kekuatan tersebut. Karena itu dia sudah melangkah amat jauh. Sedangkan Pak Wi mengungkapkan kedatangan Haji Mufid justru sudah diinginkan sebelumnya. Entah apa sebabnya aku merasa kurang puas terhadap kalimat Pak Wi soal itu. Aku mulai berupaya menemukan letak kejanggalannya, yang sebenarnya berakar dari ketidakmauan diriku menerima penjelasan.

Akan tetapi belakangan aku melihat celahnya! Kujelaskan dengan lebih singkat begini:

Tiada salahnya Pak Wi mengucapkan penjelasan yang melawan tulisannya sendiri dan kata-katanya yang dulu, lantaran penjelasan yang paling baru ini terkesan baru dia ketahui hari-hari terakhir. Maka justru di sini letak soalnya. Beberapa hari terakhir Fani pergi dan baru kembali sebentar yang lalu. Mereka tidak bertemu sekian hari. Kekurangan ini bisa diatasi dengan telepon. Sayangnya Pak Wi mengklaim menyimpan wasiat tersebut. Sementara mereka berdua baru bertemu kurang dari satu jam yang lalu. Sementara yang lain, aku mendengarkan setiap ucapan mereka dan Haji Mufid. Di situ tidak aku temukan pembicaraan mengenai wasiat. Kemungkinan lainnya, Fani bisa membahasnya berdua di kamar Wina. Namun mestinya surat wasiat itu sudah ada di tangan. Sebaliknya, Pak Wi malah minta izin untuk menunjukkan suratnya padaku. Lebih jauh lagi, menantangku membaca.

Kenapa tidak sebaiknya aku terima tawaran itu. Aku agak menyesal melewatkan kesempatan ini. Namun aku harus berangkat dari sini, bahwa ucapan Pak Wi mengenai surat wasiat penuh keraguan.

Satu kejanggalan terungkap mengungkap kejanggalan yang lain. Untuk itu aku harus mulai melupakan Sukma dan memikirkan sosok yang disebut dengan nama Azazil. Tidak peduli ini nama sungguhan atau alias atau salah satu nama iblis dalam cerita mitologi, dialah biang kerok misteri ini. Aku terkesan pada makhluk ini, pasti dia pula yang membohongiku habis-habisan. Sayang sekali ia tidak bisa mematahkan ungkapan “Anda dapat berbohong pada seribu orang sekali waktu, tetapi mustahil berbohong seribu kali pada satu orang”. Satu kebohongan yang diciptakan Azazil akan ia tutupi dengan kebohongan yang lain. Seterusnya begitu sampai kebohongan demi kebohongan itu membongkar dirinya sendiri.

Berkenaan dengan kebohongan inilah aku menyangka Azazil telah menyiapkan satu kartu yang terakhir. Kartu AS. Kartu jitu yang cuma akan dilemparnya dalam situasi terjepit. Sialnya ia sedang menghadapi situasi ini. Aku tak bisa menahan diri tersenyum. Azazil tahu aku sedang tersenyum. Aku akan kecewa jika ia tidak melihatku sekarang. Sebaliknya, aku berharap setan itu mengamati senyumku sampai lama, sampai ia tak bisa lagi menyimpan marahnya. Sekali pun Azazil mengamuk, semata-mata tidak ada artinya buatku. Aku tidak lagi punya rasa takut sebab tak ada sedikit pun tempatku untuk bersembunyi. Menurutku kata-kata yang aku kutip dari film Zengis Khan itu membuat diriku jauh lebih kuat.

Sekarang aku sudah tahu harus berbuat apa. Yang pertama adalah membuka pintu kamar Wina. Selanjutnya keluar, selanjutnya menemui tiga orang itu.

***

Tanpa ragu aku membuka kamar ujung yang selama ini begitu rahasia. Tiga orang sudah berada di sini. Bersimpuh khidmat. Wajah mereka pasrah seperti yang sebelumnya. Kusapa Pak Wi ramah-ramah dan Fani. Tidak dijawab. Aku berkata lagi, “Aku sudah memikirkan semuanya.” Aku berhenti. Ingin berkata sedikit lebih banyak tapi juga ingin tahu bagaimana mereka menanggapi. Pak Wi lalu berdiri, aku mendekatinya sampai genap langkahku. Suhu di dalam ruangan ini sedikit dingin bercampur pengap. Aku membuka jendelanya, jendela yang sudah usil sejak hari-hari pertama.

“Kalian lebih berhak atas benda pusaka ini,” kataku seraya menatap kotak berisi cawan-cawan.

Pak Wi tersenyum singkat. Kata-katanya masih kutunggu. Aku tidak bisa berharap Fani bicara. Malam ini juga agaknya semua pembicaraan telah diserahkan pada Pak Wi sebagai juru bicara.

“Di mana kamu menemukan peti ini?” tanya Pak Wi. namun menurutku itu tidak terlalu penting. Meski akhirnya aku jawab, “Di rumah ini.”

Aku bergerak mendekat ke suatu meja kecil warna hitam untuk menaruh benda tersebut. Pak Wi dan Fani rupanya amat berminat pada kotak temuanku hingga keduanya tidak ingin berhenti menatapinya. Cuma Sybillia yang tidak tertarik. Anak itu pun sedang lelap dalam dekapan ibunya.

Aku berkata lagi, menjelaskan, “Kalian tak perlu ragu tentang isinya. Semuanya masih dalam keadaan sama.” Setelah itu aku menyatakan keinginanku untuk pergi. Pak Wi memandang diriku kuat-kuat. Namun justru di bagian ini aku melihat ia ragu. Pikirannya seakan-akan masih menyimpan satu atau beberapa hal yang mau ia ucapkan. Aku pun bertanya, apa semua ini sudah cukup, dan apa tidak ada lagi yang diperlukan. Ia menjawab tidak dengan cepat. Aku mengangguk pelan kemudian pamit. Dan sebelum benar-benar meninggalkan mereka, aku menghampiri Fani demi memeluknya. Fani tidak berusaha menolak sekalipun tidak juga menanggapi pelukanku dengan balasan yang sama. Kemudian aku merasa mantap untuk benar-benar pergi. Mulai saat ini urusannya telah menjadi urusan mereka sepenuhnya. Aku pun berjalan keluar seakan-akan tanpa merasa membawa beban.

“Mas Alvin….”

Pak Wi memanggil namaku, sebelum diriku menghilang dibatasi pintu. Kuhentikan langkah tanpa memalingkan wajah pada asal suara itu.

“Mas Alvin…,” bersamaan dengan panggilan yang kedua aku memutar badan. Pak Wi berjalan kepadaku. Saat makin dekat ia menarik nafasnya lalu berkata, “Saya hampir lupa…., terima kasih.” Aku mengangguk lagi dan menanggapinya dengan berkata bahwa itu bukan masalah. Aku juga meminta kepastian lagi—mengesankan basa-basi—apakah dirinya benar-benar akan melaksanakan ritual tersebut dan apakah Fani dan anaknya harus terlibat. Pak Wi mengatakan iya. ‘Iya’ tanpa ragu. Namun dia menambahinya, “Sebenarnya kami perlu sedikit bantuan kamu.”

Mataku memicing, membuat Pak Wi ragu pada perkataannya yang baru. Dengan cepat ia berusaha menarik kalimatnya. “Sudah, itu ndak perlu,” katanya, “Kami akan jalani bertiga.” Aku jelaskan maksudku, sebenarnya tidak ada masalah. “Aku mau saja membantu, tapi aku perlu tahu bantuan seperti apa?”

Pak Wi menggapai dua lenganku dengan kedua tangannya. Senyumnya berkembang untuk kesekian kali. Sesudah itu tangannya dilepaskan. Aku dibawa kembali ke dalam.

“Bagaimana keadaan Haji Mufid?” Pak Wi ingin tahu.

“Haji Mufid baik-baik saja. Aku cuma memintanya istirahat sebentar.”

“Syukur kalau begitu,” suaranya lebih pantas disebut menggumam, “Saya ndak pernah percaya pada dia. Kalau pun saya harus baik-baik, maksudnya karena cawan-cawan itu.”

Aku tidak berminat lagi mempersoalkan Haji Mufid. Karena kuatir malam makin tandas, aku tanya Pak Wi, “Kapan ritualnya dimulai.”

“Segera!”

“Apa tugasku sekarang?”

Pak Wi kelihatan lebih bersemangat: Mulai menjelaskan satu persatu. Pertama begini, lalu aku harus begini, kemudian begini, selanjutnya begini, berikutnya yang diucapkan begini, dan banyak begini yang lain. Di akhir Pak Wi bertanya apa aku sudah cukup mengerti atau perlu diulang. Aku jawab aku mengerti. Maka sejak itu ritus dimulai. Aku yang membantunya dengan senang hati.

[Real Story] Kost Angker Pejaten Jakarta Selatan [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang