Syibillia dan Kesenangannya

11 1 0
                                    

“Saya nggak mau Pak Wi main-main dengan ini semua. Hentikan!”

Seandainya perkataan itu tak terdengar, niscaya aku sudah masuk ke dalam rumah. Suara Mbak Fani terucap agak tinggi dan menghalangiku masuk.

“Kalau saja kamu mengerti...”

“Mengerti apa? Biar apa saya mengerti!?”

“Saya ndak akan nyelakai kamu dan rumah ini, nduk.”

Terdiam sebentar. Mbak Fani dan Pak Wi pasti menyadari hanya diri mereka yang ada di dalam sana sehingga berbicara seperti itu

“Anakku panas tinggi tiap tengah malam...Tiga hari ini begitu,” ujar Mbak Fani dengan suara yang kini terpatah.

“Gusti Allah! Sybillia sakit, nduk?”

Kemudian tangisan sang perempuan tersingkap dari dalam. Lantas aku mendengar langkah Pak Wi. Sepertinya ia menghampiri Mbak Fani demi mengatakan sesuatu, tapi aku tak bisa menangkapnya kecuali tangisan yang terus menerus.

Sehingga berkata lagi,

“Simbah datang kembali ke kamarku.”

“Kamu ndak bohong, nduk?”

“Pak Wi, masa bodoh,” bicaranya menggeram dan ditekan, “Akan kusingkirkan makhluk itu dari kamarku. Dari rumahku!”

“Gusti pengeran!”

“Pak Wi punya janji pada Ibuku untuk nurut sama aku...Usir dia dari tempat ini!”

“Nduk, sadar...sadar! Dia yang menjaga rumah ini. Sabarlah sebentar. Banyak yang ingin jahat pada kamu.”

Tangisan yang terkadang mendesis-menggeram itu bertahan kian lama. Aku baru membuka pintu ketika suara dari dalam berhenti sepenuhnya.

“Eh, Mas Alvin. Kebetulan, ayo makan, makan! Ah, ini Mbak Asih yang masak dari rumah.”

Pak Wi menawarkan makan dengan amat ramah. Duduk mengelilingi meja makan, Mbak Fani sambil memangku putrinya, Mbak Asih, suaminya, dan Pak Wi. Tiap-tiap orang di situ tersenyum sumringah layaknya sedang mensyukuri nikmat Tuhan. Aku menatapi mereka dengan terheran-heran. Namun semakin ditatap, wajah-wajah itu kian bergembira.

Di antara makanan-makanan berat yang terhidang ada seloyang kue ulang tahun.

HAPPY BITHDAY SYBILLIA
2


“Sybillia ulang tahun?” tanyaku datar. Seandainya mereka tahu pedalaman hatiku. Bibirku menahan gemetar.

“Eh oom Alvin baru tahu ya. Ucapin selamat dong buat aku,” kata Mbak Fani riang mewakili putrinya dengan suara yang dibuat-buat seperti anak kecil.

Di wajah jelita itu tiada seguris pun bekas kesedihan.

Masih dengan tak percaya aku menghampiri Sybillia. Ibunya memberikan anaknya supaya aku gendong. Maka kuucapkan selamat dan doa walaupun segalanya yang kudengar tadi masih membungkam nalar.

“Maaf oom nggak sempat siapkan kado,” kataku pada Sybillia yang belum mengerti.

“Nggak apa-apa kok oom, kan masih ada besok,” cetus biangnya, “Sekalian mamanya dikadoin juga boleh.”

Aku hanya membalas dengan senyum tanpa sempat berpikir apa-apa. Untuk kedua kali mereka mengajak bersantap. Kutolak baik-baik, sebab nafsu makan lenyap tak tahu ke mana.

***

Aku berusaha lepas ingatan atas pendengaran yang sulit dipercaya tadi. Tugas teramat penting malam ini, menyelesaikan bab II skripsi public relation. Kekurangan uang cukup membantu mengatasi tekanan. Dan ketika mulai duduk menghadap notebook, pikiranku dengan cepat terpusat pada karangan akademik.

[Real Story] Kost Angker Pejaten Jakarta Selatan [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang