Eksodus 2

11 2 0
                                    

Kira-kira jam 8 malam Wina pulang hanya untuk mengambil tas. Bersamanya Lis dan seorang lagi, pria sebaya dengannya atau lebih sedikit umurnya. Tak sempat kukejar nama pria itu. Hanya gelagatnya aneh, seolah-olah ia tak pernah memasuki rumah orang lain seumur hidupnya.

Dalam penglihatanku, pemuda tersebut menghabiskan waktu untuk melihat-lihat. Dinding, perkakas, pajangan, unyil, sampai-sampai cicak yang merayap tak lepas dari kejaran matanya. Sekali saja dia tersenyum irit padaku, sudah itu kembali lagi melihat-lihat. Beberapa kali pula aku menangkap bibirnya mengumik-umik. Tak jelas apa isinya, dan untuk bertanya ala kadarnya pun tidak mungkin, sebab wajahnya masam.

Kami berempat berjalan bersambung-sambung lalu menaiki tangga. Sungguh itu hanya kebetulan. Lis terlihat berbeda jalannya, agak payah, seperti...Ah sudahlah.

Di luar kebiasaan, Wina pamit kepada Lis sebelum masuk ke kamar. Lis menyahut dengan ramah, lebih ramah dari yang kukira.

“Kamu mau ke mana lagi?” tanyaku begitu menemukan Wina bergegas.

“Ada deh. Urusan cewek.”

Semata-mata aku diam tak ingin mendesaknya. Pikiranku masih terbawa pada sosok pria yang baru nampak itu, juga Lis yang bersikap ramah.

Namun Wina, entah ia sudah mulai bisa membaca gelagatku atau karena dorongan benaknya seorang, berkata,

“Pak Wi nggak kasih sesaji lagi?”

“Ada tadi sore, tapi sudah kubuang.”

Tiba-tiba garis wajah perempuan itu mengeras. Wina menggaruk-garuk ubun-ubunnya yang mungkin tidak terasa gatal. Aku menduga kuat ia sedang memikirkan sesuatu yang penting.

“Alvin...” Wina tampak ragu mengatakannya. “Alvin, kamu jangan main-main. Kamu apakan benda-benda itu?”

“Kubuang, sudah kubilang kubuang,” intonasi suaraku masih terjaga.

Cerita yang sebenarnya adalah tidak lebih dan tidak kurang dari apa yang kusampaikan kepada Wina. Meski aku menyembunyikan kebohongan di dalamnya. Penyerupaan sosok Wina oleh jin keparat itu telah membuatku berpikir pendek. Maka segera setelah itu benda-benda pengundang dosa itu kumasukkan dalam satu kantong plastik lalu melemparnya jauh-jauh ke arah kebun pisang.

Itu pun yang sekali belum cukup, sebab sesudahnya aku menemukan sebuah lambar yang di atasnya terdapat sebutir telur ayam kampung. Lambar diletakkan di sudut yang berlawanan dari benda-benda sebelumnya. Dengan memikul amarah telur itu kulontarkan bulat-bulat ke arah yang sama.

Wina usai mendengar cerita yang telah dimodifikasi itu dan napasnya seolah ditarik panjang tak berhenti.

“Sayang...Lis juga mengalami gangguan yang sama seperti kita.”

Wina mengambil kursi rias lalu duduk. Berkata lagi, “Sebentar lagi dia akan pindah. Sebenarnya sewanya masih ada sisa karena dia bayar sekaligus.”

“Maksud kamu karena Lis udah enggak tahan lagi tinggal di kamarnya, begitu?”

“Bahkan dia udah berbulan-bulan nurutin saran Pak Wi sampai tiba-tiba datang cowok itu.”

“Memang siapa dia?”

“Mereka berencana menikah dekat-dekat ini.”

Kukira kepala wanita itu hanya diisi saji-sajian. Ternyata ada juga pikirannya tentang lelaki.

“Tapi hubungannya apa dengan cowok itu?” tantangku.

“Cerita Lis, calon suaminya itu peruqyah. Mula-mula Lis datang ke majelisnya tiap weekend, dengar ceramah, keterusan, sampailah akhirnya mungkin mereka berjodoh.”

[Real Story] Kost Angker Pejaten Jakarta Selatan [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang