Dalam pertengahan Juni 2010 Wina benar-benar pindah dari rumah indekos milik Fani. Pada hari kepindahannya aku datang untuk membantu. Adapun hubungan kami belum mengalami perubahan sejak yang terakhir. Wina tidak begitu gembira melihat aku datang, kecuali ia tidak punya pilihan yang lebih baik untuk mempercepat pengangkutan barang-barangnya.
Kamar Wina yang baru terletak di bagian belakang sebuah rumah besar di sebelah utara universitas. Kepindahan ini menjadikan ia lebih dekat lagi dari kampus. Pemiliknya seorang wanita tua yang senyumnya selalu tersembunyi di balik keriput wajahnya. Melihat luasnya kamar dan fasilitasnya dan harga sewanya, kepindahan Wina menurutku adalah suatu langkah mundur. Namun aku berharap gadis itu memperoleh kenyamanannya di tempat yang baru, sebab itu lebih berarti dari segalanya.
Dengan dua atau tiga kali pengangkutan sepeda motor, semua barang Wina sudah berada di tempat yang baru. Aku segera pamit pergi, Wina tidak keberatan, hanya mengucapkan, “Terima kasih”. Itu pun menurutku sudah lebih dari cukup. Aku berencana langsung pulang, tetapi lebih dulu singgah di rumah Fani.
Pada saat membuka pagar, Pak Wi sedang menyiram tanaman. Pak tua itu tersenyum, aku tak ingat kapan pernah melihat senyumnya yang sedemikian lebar dan bersahabat, atau barangkali ini yang pertama kalinya. Ia meninggalkan kegiatannya dan menyalamiku. Aku membalas jabat tangannya dan senyumannya. Pak Wi mengucapkan terima kasih, sebenarnya ia sudah begitu banyak mengucapkan frasa tersebut dalam hari-hari terakhir. Aku mengatakan masih ada beberapa barang milikku yang sebetulnya bukan apa-apa tetapi perlu aku bawa. “Oh ya monggo. Mau berlama-lama juga ndak apa,” ujarnya ramah. Kemudian aku meninggalkannya menuju kamar.
Di ruangan utama Mbak Asih dengan mesin setrika sedang menghaluskan pakaian. Kerjanya amat gesit, namun kedatanganku tak lepas dari perhatiannya. Perempuan itu tersenyum, kubalas sambil berjalan ke atas. Bingkai lukisan masih ada, namun sudah diganti yang baru. Sebuah Foto keluarga mereka yang belum pernah aku temui, mungkin baru dicetak atau dipindahkan dari tempat penyimpanannya. Kupandangi foto tersebut untuk segera berhenti pada gadis belia berambut pendek sebahu yang mengenakan kebaya warna gading. Aku kesulitan menahan senyum dan kegembiraan ketika berhadapan dengan gambar itu. Sampai kemudian aku menyadari bahwa semua sudah berakhir.
Tidak ada yang tersisa di kamar Wina kecuali televisi yang ia pesankan supaya dihibahkan kepada Pak Wi, sebab Wina sudah punya yang baru. Aku datang sebenarnya cuma untuk memulangkan ingatan tentang rumah ini. Sayangnya semakin aku ingin melupakan, upaya itu kian sulit. Tetapi belakangan aku tetap harus pergi, dan setiap pria pernah hidup dengan cara seperti ini.
Di teras rumah, sebelum pergi aku kembali menjumpai Pak Wi. Sekarang ia sibuk dengan mangkuk berisi beras ketan dan telur ayam kampung. Benda itu ia taruh di bawah kulit buaya putih. Aku tersenyum singkat saat memperhatikan kegiatannya. Aku bertanya, “Apa benar mereka masih ada di sini?” Pak Wi memalingkan wajahnya ke belakang baru ia berdiri. Lalu berkata, “Sebagian dari mereka memang tempatnya di sini.”
Lagi-lagi bibirku tersungging. Aku mengangguk untuk menghormati tradisinya. Beberapa saat selanjutnya bersiap-siap pergi. Setiap ucapan terima kasih sudah aku sampaikan pada Pak Wi. Hingga sepenggal suara terdengar, “Kamu akan datang ke rumahku setiap waktu, kapan pun.”
Fani begitu saja sudah berdiri dekat sepeda motor miliknya. Bersamaan ia nampak, Pak Wi pergi ke dalam, meninggalkan kulit buaya tetap tergantung sendirian. Aku melangkah ke bawah, menghampiri perempuan itu, yang hari ini serba hitam dari jaket sampai sepatu boots suede. Ketika berdekatan aku baru merasakan suatu emosi yang berlainan dari sebelumnya. Fani menatapku diiringi menggelar bibirnya yang runcing. Senyuman yang begitu manis, tetapi dalam saat-saat begini aku justru merasa tersiksa.
Di bawah pohon belimbing yang dahannya melebar itu kukatakan pada Fani, “Wina pindah hari ini.” Mungkin kalimat itu kurang tepat untuk membuka pembicaraan. Ia melipat bibirnya tetapi selang sebentar tersipu, seakan-akan ucapanku bukanlah apa-apa. Sebenarnya ingin kutanya, kenapa dia tersenyum begitu saja. Fani lebih dulu berkata, “Aku sudah tahu, kan? Itu bagus untuknya.”
“Berarti enggak bagus untukku?”
Fani tertawa lalu menjawab, “Tergantung kamu.”
Aku jadi ikut tertawa. Siang ini langit teramat cerah. Musim panas lepas landas meninggalkan musim hujan. Angin berhembus lebih kencang. Aku dapat merasakannya menyapu rambut. Angin tiada pernah terlihat, hanya dapat dirasa dan diperkirakan arah dan kecepatannya. Sebagaimana yang tersimpan di dalam pikiranku, yang membuat diri ini gembira atau sebaliknya, gundah.
Agaknya aku jadi terlalu pendiam karena merenungi angin. Fani pun menanyakan kenapa aku diam. Dan pertanyaan sesederhana itu menjadi sulit dijawab. Walau begitu, di samping ia dan aku ingin pergi, aku harus berkata. Entah ucapanku berguna atau tidak sama sekali. Yang aku katakan adalah, “Terima kasih.”
Fani berkata lagi, tetapi bibirnya mendahului kata-katanya. Kecupannya mendarat di pipiku. Bertahan hingga beberapa saat. Dalam sekejap aku membeku. Sikapnya membuat pikiranku ketar ketir. Sulit mengartikannya. Sampai ia berkata, “Kamu mirip kakakku. Tapi kamu masih sangat muda.”
Ucapannya itu kelak akan aku carikan kitab tafsirnya meski menghabiskan banyak waktuku sepanjang hidup.
***
Aku menjalani hidup dengan bermacam-macam cara. Berganti pada satu hal kepada hal yang lain. Berpindah dari suatu tempat ke tempat yang lain. Ada lingkungan yang baru yang dengan sendirinya membantuku melupakan yang lama. Tahun-tahun berikutnya aku mulai bekerja. Kalau tidak bekarja memulai usaha lalu gagal, atau keduanya gagal. Kalau tidak keduanya aku menulis dan menyempatkan diri bertemu orang-orang yang pernah aku kenal. Hanya dengan begitu saja waktu telah maju secepat peluru.Akan tetapi menjelang pertengahan tahun 2014 aku melewati rumah Fani. Bangunan itu sudah banyak berubah. Dari pagar hingga atap dan barangkali juga semuanya berubah. Dengan cepat aku mengulas ucapan Pak Wi di suatu malam, bahwa Fani akan segera pindah. Sulit aku menjelaskan pikiranku saat itu. Aku menghabiskan waktu hampir satu jam dengan memperhatikan rumah itu dan bergulat dengan isi hati sendiri. Sampai seorang perempuan, tubuhnya gemuk, belum bisa dibilang tua, menyapaku dari dalam. Ia tidak menyebut nama, hanya bertanya, “Lagi cari kos, Mas?”
Dalam beberapa menit aku sudah berada di dalam. Dugaanku tidak terlalu keliru, rumah yang dulu milik Fani ini sudah mengalami banyak perubahan. Ruang bawah tanah sekarang memiliki delapan kamar. Perempuan gemuk menjelaskan tentang banyak soal, satu persatu, termasuk pemiliknya yang baru, karena ia mengira aku betul-betul sedang mencari tempat tinggal. Aku tak lebih dari mendengar ia bicara panjang lebar. Kemudian ia membawaku ke lantai yang paling atas. Bagian ini belum berubah, tetapi empat kamar yang dulu telah diperbanyak menjadi delapan. Di depan wanita itu aku menilai ruangan ini lebih sejuk dan lebih luas. Ia setuju, oleh karenanya dihargai lebih mahal dari yang lain.
“Kamar yang di ujung situ sudah diisi?” aku bertanya serius.
“Masih kosong.”
“Rencananya disewakan?”
Perempuan penjaga rumah itu tertawa. “Tentu saja,” katanya lugas, “Kan ini kamar kos.”
Aku ikutan tertawa, kemudian minta dibukakan salah satu kamarnya, sebab kamar yang dulu satu itu sudah dibagi jadi dua. Penjaga kos membuka yang paling ujung. Aku segera melangkah masuk, sementara ia tetap tinggal di luar. Kamar ini punya kamar mandi sendiri seperti yang dulu, tetapi luas kamar mandinya sudah berkurang. Aku ke sini cuma ingin melihat-lihat. Jadi antara sebentar saja sudah cukup. Aku keluar, penjaganya mengunci pintu dengan cepat lalu berjalan mengikuti arahku.
Akan tetapi aku berhenti menjelang tangga turun. Menengok ke belakang, perempuan itu juga berhenti. Aku tahu apa yang ia pikirkan, jadi aku berkata, “Maaf, bu, saya lupa matikan keran air.”
Ia hanya mengangguk lalu kembali membuka kamar yang tadi aku masuki. Sebenarnya aku tak pernah memutar kerannya.
Aku akhirnya pamit pergi tanpa meninggalkan kepastian. Penjaga kos bercerita sedikit bahwa masih banyak kamar yang kosong dan lebih banyak lagi orang yang datang melihat-lihat. Dengan begitu kurasa ia agak kecewa karena tamu sore ini cuma menghabiskan waktu untuk bertanya-tanya.
Kendati demikian rupanya ada juga teman Wina yang tinggal di situ. Aku mendengar ceritanya setahun kemudian. Lita, gadis itu. Tinggal selama satu bulan di salah satu bekas kamar Wina yang sekarang sudah dibagi jadi dua.
“Suatu malam Lita menghabiskan malam seperti biasa di kamarnya. Saat itu sendiri, dan kebiasannya membaca komik sebelum tidur. Dia membaca menghadap tembok. Tahu-tahu kata Lita, dia merasa selimutnya bergerak-gerak. Seketika Lita curiga lalu balik badan. Ada perempuan di dalam selimutnya. Beberapa hari kemudian dia langsung pindah,” ujar Wina dengan semangatnya menceritakan kisah seram itu.
![](https://img.wattpad.com/cover/265698838-288-k177326.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
[Real Story] Kost Angker Pejaten Jakarta Selatan [Complete]
HorrorCerita berikut adalah kisah nyata yang sempat fenomenal di Kaskus pada tahun 2016. Saya sebagai reuploader sudah mendapatkan izin dan restu dari pihak pertama. Selamat membaca and Stay Creep...