Yang Masih Tersembunyi

11 2 0
                                    

Filsafat perjalanan adalah tentang masa depan. Ujungnya selalu misterius. Dapat diperkirakan, bisa dicermati, namun sulit ditarik kepastiannya. Sehingga urat akar dari setiap perjalanan ialah kepastian dalam beragam rupa ketidakpastian. Cuaca mendung, dan badai, dan sinar matahari yang papar, dan orang-orang menjengkelkan dan baik budi, dan tawa marah diri sendiri, dan harapan yang menjadi putus asa, dan sebagainya merupakan sengkarut dari pada benang kusut yang saling mengurai. Perjalanan yang sampai pada detik ini ialah berasal dari ketidakpastian, dan yang tak pasti pada masa sekarang sedang mengantar kepada kepastian di masa mendatang.

Seorang lelaki sedang menyerahkan malamnya kepada seorang perempuan. Dalam suatu perjalanan yang singkat namun terasa panjang. Suatu perjalanan yang sebenarnya bukan seharusnya dilakukan saat itu. Perjalanan ini tidak ditemani perbincangan. Hanya langkah bersemangat, yang membuat peluh menetes-netes dan menghangatkan darah sekian derajat. “Hey,” kata lelaki dalam hatinya, “Beritahu aku kapan sampai.” Perempuan bersirat senyum, menjawab dalam hatinya juga, “Simpan pertanyaan yang tidak berguna itu. Kita bisa sampai esok pagi atau lusa atau sebaliknya, lebih cepat sebelum aku selesai bicara.”

Kemudian sungguh lelaki ini menjadi pendiam, tetapi berbicara melalui jemarinya yang mengusap-mencengkram, dan kaki-pinggulnya yang bergerak-gerak, dan hembus-hela nafas kian kemari, sehingga semangatnya semakin penuh agar sampai. Di kiri kanan udara malam berhembus, sejuk seharusnya, namun darah yang sudah menjadi lebih hangat mudah melawan kesejukan itu.

Akan tetapi setiap perjalanan bertemu persimpangannya dan cuaca yang tiba-tiba berubah, yang bisa membingungkan, mengganggu atau lebih jauh lagi, membahayakan. Seorang perempuan yang lain lagi dari kejauhan memanggil lelaki, “Hey, lelaki. Aku memanggilmu. Jawab panggilanku.” Lelaki itu mendengar tapi ragu dan perempuan yang sedang bersamanya berkata, “Mari kutunjukkan jalan yang lebih bagus, ada pemandangan indah di sana, kamu akan menyukainya.” Ia berkata lagi, “Kamu hanya sedang bersamaku, bukan yang lain. Tidak ada yang lain.”

Sang lelaki kemudian menurut, mengikuti jalan yang ditunjukkan. Tiba-tiba ia merasa semakin dekat sampai. Namun di luar pengetahuannya, perempuan yang datang kemudian cepat mengejarnya dan singkat saja sudah berada sangat dekat. Ia tidak bicara meskipun jengkel, kecuali hanya dengan tatap marah ia berkata, “Kamu seharusnya sendiri malam ini.”

Lelaki ini tak berdaya, barangkali pada dasarnya ia menyadari suatu kesalahan; ia tak seharusnya pergi bersama siapa pun. Tetapi ia merasa perlu membela diri, oleh karena menganggap dirinya bebas melakukan apa saja. Pada akhirnya, sebagai upayanya mengingkari masalah, ia mendorong pergi perempuan yang sejak tadi bersamanya. Perempuan itu benar-benar pergi secepat kedipan, hilang tak berbekas. Dan rupanya kepergiannya malah menjadi masalah baru yang tak pasti.

***

Benci, marah, kalut, sesal dan perasaan yang sebagainya bersekutu mengepung diri yang rapuh ini. Wina telah pergi dan tak peduli pada apa lagi yang bakal aku perbuat. Bahkan dia menyimpan tangisnya; menunjukkan bahwa aku bukan laki-laki monumental yang pantas dipertaruhkan mati-matian.

Waktu-waktu setelah kepergiannya menjadi sulit kupahami. Kamar besar ini terasa amat sempit juga pengap. Lantas aku buka jendela dengan harapan mendapat suasana lebih baik. Setiap hal sepertinya sedang mengolok-olok nasib.

Meski demikian yang paling aku sesali ialah, wanita yang tadi sedikit lagi kugauli bukanlah Fani, melainkan wujud yang asal muasalnya antah berantah. Siapa dia? Mungkin Sukma mungkin sahabatnya dari kalangan jin maupun setan yang lain lagi. Pastinya kasus ini tidak main-main. Sangat serius. Aku tak mau mengira-ngira getahnya.

Kejadian itu tak bisa mudah saja ambyar dari ingatan. Yang tampak itu benar-benar mirip Fani seutuhnya. Mana bisa begitu!

Tanpa sadar aku meninju cermin rias yang terpasang di depan. Wajah dalam kaca itu retak seperti perasaan wajah aslinya. Ada darah menetes tetapi aku tak menghiraukan perih. Sampai beberapa waktu kemudian aku baru mengerti, itu adalah tindakan bodoh.

[Real Story] Kost Angker Pejaten Jakarta Selatan [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang