Mimpi Fani

12 1 0
                                    

Udara malam begitu sinis menanggapi kedatanganku di rumah Fani. Untungnya pagar masih dibuka sehingga aku tak perlu menggoda perhatian pemintas jalan dengan cara memanjat. Aku masuk dengan hati-hati, bahkan sedikit mengendap-endap, seperti garong pemula. Minatku adalah mengintai Pak Wi.

Kamarnya berada paling depan sebelah kiri, merangkap gudang galon air. Dari teras depan harus melewati tiga undakan. Kupikir tempat istirahat Pak Wi berbatasan persis dengan kamar Fani di belakang dan kamar Ruben di bawah. Ruangan itu tampak terang. Dengan begitu mungkin saja Pak Wi sedang di dalam. Aku pun mengatur langkah supaya lebih senyap, kalau bisa tidak didengar hantu.

Akhirnya sampai di depan pintunya! Degup jantung otomatis terpacu, mengarah ingin pipis lantaran takut ketahuan. Padahal Pak Wi belum tentu di dalam. Sialnya aku kesusahan mencari lubang intip.

Lalu aku dapat akal. Sebuah kursi plastik. Benda itu berguna untuk mengintip dari lubang ventilasi. Aku tak melihat usulan yang lebih baik daripada memanfaatkannya. Satu…dua…tiga..sampai hitungan sepuluh baru hati ini mantap. Hap! Aku sekarang bisa menembus ke dalam. Namun selanjutnya sepasang mata ini tak mampu berkedip ketika menangkapi pemandangan dalam kamar.

Pak Wi bersemedi! Tubuh itu begitu baku dalam timpuh. Nyaris tidak bergerak. Menghadap pada rupa-rupa sesaji dan yang terutama kembang mawar mengelilingi dirinya sendiri.

Keterangan oknum yang menyerupai Mbak Asih sejauh ini sahih tak bercela. Dan kalau kebenaran ini konsisten, aku harus menunggu sedikit lagi untuk mengungkap kejadian yang dirahasiakan itu. Meski dengkul mulai gemetar aku pantang kendur.

Tiba-tiba Pak Wi berdiri. Anehnya gerakan itu seperti dibimbing bukan oleh dirinya sendiri. Sangat mungkin dia kerasukan jin. Gerak layu nyaris tanpa otot itu pada akhirnya mampu membuat tubuh Pak Wi tegak. Ia tetap pada diamnya sampai beberapa saat lamanya.

Akan tetapi aku melewatkan suatu perkara yang sangat penting. Sebuah cermin besar yang letaknya lurus dari tempat berdirinya Pak Wi. Sedangkan aku pun mengintai tepat di belakangnya. Oleh karena itu Pak Wi mestinya mengetahui perbuatanku sejak tadi bertimpuh. Dan itu bukan tebak-tebakan belaka. Pak Wi sekarang tersenyum. Namun rupanya aku berhadapan dengan perkara yang lebih besar lagi: Pantulan dalam cermin itu dengan cepat berubah menjadi sosok yang lain.

Dua batang kakiku rasanya keropos seketika. Bunyi gedebuk! meramaikan malam yang pendiam. Ambil langkah cepat, melompati pagar balkon untuk kemudian berlari kesetanan menuju kamar Wina.

Namun upaya melarikan diri tertahan.

“Alvin! Mas Alvin!” Seseorang berhasil menghadang. Pintu ruang utama yang terbuat dari logam barusan saja berbunyi amat keras. Bersusah payah aku mengatur napas.

Pak Wi? Orang tua itu ada di depan mata. Bagaimana hal ini bisa dibenarkan?

“Ada apa ini?” ia bertanya, dahinya berlipat. Aku berjuang mengontrol diri secepatnya.

Pak Wi sedang di depan layar, menghibur diri dengan nonton komedi!

Dan terang saja kegaduhan yang kuciptakan talah menunda kesenangannya.

Sepenggalan waktu kemudian Pak Wi beranjak ke dapur untuk segera kembali dengan sebuah gelas. Sedang nafasku masih terengah-engah meski sudah lebih teratur.

“Minum air hangat ini supaya lebih enak.”

Gelas air berpindah tangan. Aku menatap mata Pak Wi. Namun diamnya mengatakan bahwa aku harus minum. Maka air setengah panas itu membasahi tenggorokanku yang rupanya terasa kering.

Beberapa saat sesudah itu Pak Wi mengulangi pertanyaannya. “Ada apa, Alvin? Apa yang kamu lihat?”

Susah percaya apakah ia menginginkan jawabannya. Lebih pastinya, perlukah Pak Wi bertanya demikian. Sebenarnya aku tak lagi lebih percaya pada diriku sendiri. Pikiran dan keyakinanku yang tadinya utuh kini retak, sehingga retakan itu tinggal menunggu waktu agar pecah menjadi kepingan-kepingan.

[Real Story] Kost Angker Pejaten Jakarta Selatan [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang