Bermain Catur

24 1 0
                                    

Sepertinya aku tidak menyukai cerita Wina. Tetapi dia setuju tetap bertahan di tempat tinggal barunya, paling tidak satu bulan ini.

Aku mengajaknya pulang dan berjanji menemani sampai pagi. Ketakutannya reda dengan sendirinya. Semoga gangguan macam ini akan segera berakhir. Ya, berharap adalah jalan yang paling mudah. Lalu apa lagi? Kami tidak mungkin memanggil orang pintar ke properti milik orang.

Untuk mengembalikan rasa tenang, aku mengajaknya bermain catur lagi. Cara sederhana ini efektif. Dengar-dengar, untuk menghilangkan beban pikiran, lakukan sesuatu yang fokus, di antaranya bermain dan membaca buku. Sebab ketika seseorang terpusat akan hal baru, organ di dalam tempurung kepala secara alamiah akan mengikis memori yang sebelumnya.

Di tengah permainan, seorang teman mengirim SMS, mengajak bertemu di kawasan Kemang, Jakarta Selatan.

"Siapa?"

"Bang Djoni."

"Tumben."

"Ngajak ketemuan, gimana?"

"Malam ini? Ayo!"

"Enggak kemalaman?" Aku sedikit ragu, tapi rasanya memang bagus untuk cari suasana baru. "Ayo jalan!"

Permainan kali ini tidak selesai, padahal aku hampir kalah. Sebelum berangkat Wina mengusulkan menata bidak di atas papan. Setelah kupikir-pikir, itu bukan ide buruk, daripada hanya melipatnya.
Singkat kata, kami melakukan hal tersebut kemudian menempatkan papan catur di atas meja bundar. Lumayan estetik, kataku dalam hati.

Jalanan lengang lewat dini hari. Pejaten-Kemang cukup 10 menit ditempuh bebek. Di situ sudah menunggu beberapa temanku. Kami pun memesan kopi sebagai penghangat obrolan.

Rupanya tidak ada yang serius dari pertemuan itu, cuma kumpul-kumpul dan tertawa. Agak lama juga waktu, hingga azan Subuh berkumandang sayup. Suasana baru yang menyenangkan itu mau tidak mau berakhir.

Di jalan pulang kami hanya membicarakan hal-hal yang lucu dan menghibur. Sudah bukan lagi waktunya takut, meskipun tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi berikutnya.

Fajar masih tersisa ketika sampai di kos Wina. Ruang makan begini gelap, tanda penghuni rumah belum terjaga. Kami langsung melangkah ke kamar, derapnya sambut menyambut. Agaknya lebih baik langsung beristirahat.

Akan tetapi Wina malah membuatkan teh panas. Apa boleh kata, kami mengobrol dulu. Kebetulan aku maupun dia punya jadwal kuliah sore. Sayangnya mata ini tidak bisa lagi dipaksa-paksa, rasanya berat bukan alang kepalang. Kata-kata yang meluncur pun jadi terdengar kurang menarik. Wina juga merasakan hal serupa.

Tegukan teh terakhir menghangatkan badan. Bersiap tidur, aku meletakkan gelas di atas meja bundar. Mendadak tenggorokanku rasanya tercekat, tetapi aku berusaha bersikap biasa.

Bidak catur itu dalam posisi skakmat! Entah siapa yang memainkannya. Kamar sudah kupastikan terkunci. Pemenangnya bidak putih. Melihat dari posisi terakhir, permainan siapapun itu bisa dibilang terampil. Apakah ada orang masuk ke kamarku? Secara nalar mungkin saja, tetapi aku menepis kemungkinan tersebut.

Di bawah selimut, pandanganku terus terpaku pada papan catur itu. Uh, bikin ruwet saja pagi-pagi begini!

Pelan-pelan papan catur itu bisa kusingkirkan dari dalam kepala, berusaha tidur.

"Nggak usah terlalu dipikir. Aku juga tahu bidak itu skakmat sendiri," ucap Wina pelan sebelum akhirnya kami benar-benar terlelap.

***

Hari jumat, hampir saja tidur kebablasan. Aku menumpang mandi buru-buru, berangkat ke kampus sekaligus sholat jumat. Wina terlihat sudah rapi saat aku bangun, berdandan ala kadarnya. Dia ruapnya baru ingat ada kuliah pengganti siang ini.

[Real Story] Kost Angker Pejaten Jakarta Selatan [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang