Tatapan Zara

15 1 0
                                    

D'Tree, nama kantin itu. Berdiri di sisi terdepan Jalan Sawo Manila. Namanya jelas-jelas merujuk sebuah pohon. Pohon rambutan yang rindang dan berbuah lebat kalau musimnya. Kantin ini sering jadi sasaran mahasiswa yang lapar, ingin mengerjakan tugas, atau tak lebih menunggu jadwal kuliah.

Siang ini lebih redup dari yang seharusnya. Aku duduk di kantin d'Tree untuk menunggu Moris. Sendirian mulanya, benar-benar seperti pelanggan pertama. Yang kugarisbawahi dari kantin ini ialah penjaganya yang ramah, lucu, dan terkadang bodoh. Dan kedatanganku siang ini masih berhubungan dengan kebodohan si penjaga bernama Samsul tersebut.

Pada libur semester gasal sebelumnya aku singgah di d'Tree untuk sengaja makan siang. Sepi kala itu, lalu Moris tiba dan aku jadi punya teman mengobrol. Tak lama kemudian Samsul, yang lebih suka memperkenalkan diri dengan nama Sam, datang membawa pesanan seporsi. Namun rupanya dia punya misi khusus hari itu.

"Eh, mau anggur, Kang?" katanya dalam aksen Sunda yang tidak bisa ditutupi.

"Boleh, kebetulan sudah lama enggak makan buah."

"Eeuuh, bukan anggur buah. Ini teh anggur minuman."

Kurasa orang Sunda menyebut semua minuman adalah teh. Tapi anggur yang disebut Sam menarik perhatian Moris.

"Boleh tuh, mana? Baru tahu gua di sini jual anggur juga."

Karena siang itu aku tidak bersemangat minum, keinginan Moris kucegah. "Enggak usah lah boy, nanti malam aja kau beli. Lagipula anggur macam begitu enggak pernah habis di kampus."

Di luar kira-kira, Sam mengejekku dengan bersemangat. "Si akang bener kampungan pisan. Pasti temennya dikit. Ini teh anggur mahal, wine! 90 tahun dari Prancis. Bukan anggur merah 20 ribuan!"

Sam menutup kekesalannya dengan terpingkal. Sedangkan pikiranku langsung berkelap-kelip, ingin tahu kebenarannya. Dia barusan menyebut anggur klasik? Bersama Moris, kami saling menukar mata. "Mau, mau, coba lihat," aku mengubah pendirian.

Singkat kata Sam kembali membawa sebotol anggur. Kesannya lusuh dan sudah terlalu lama disimpan. Moris memeriksa botolnya. Model wadah wine itu jangkung lurus, penutupnya seperti tutup sirup kebanyakan. Pada bagian bawahnya menguncup ke atas.

Giliranku memeriksa, membaca kertas label berserat yang sudah lapuk. Bahasa Prancis yang terputus-putus. Namun masih ada tulisan merek dan tarikh pembuatannya. Beehive, brandy, 1921. Waktu produksi juga tercap timbul pada botol bagian bawah.

"Ini brandy, bukan wine," kataku kepada Sam, seraya memperlihatkan merek dan warnanya yang lebih muda.

"Dibilang wine, masih nggak percaya sih!" Sam sekarang ngotot.

Wine atau brandy atau bahkan brandy dengan merek dagang cognac tak jadi soal, toh pengetahuanku tentang minuman ini hampir tidak ada. Yang kudengar, semakin lama rasanya kian nikmat, harganya pun makin tinggi. Aneh juga Sam menawarkan brandy itu padaku.

"Mau dijual?"

"Iya, punya bos. Koleksi dari kakeknya," jawab Sam.

"Berapa?" Moris bersuara.

"Dua ratus aja bos."

Aku diam saja, sudah menduga harganya mahal. Rp 200 juta lebih baik buat modal usaha.

"Kata bos, masih bisa kurang, Kang."

Mau kurang pun memang kami sanggup bayar?

"Kurangnya berapa?" Moris lagi.

"Seratus lima puluh aja bos."

Moris dan aku sama-sama meringis geli. Agak kurang akal Sam mengajukan brandy klasik pada mahasiswa.

[Real Story] Kost Angker Pejaten Jakarta Selatan [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang