Jendela Pagi

40 0 0
                                    

Tepat batas ultimatum, Wina pindah ke tempat tinggal baru, meninggalkan kamar yang telah dihuninya hampir dua tahun. Saat mengemasi barang terakhir, beberapa alat rias dan boneka, rona mukanya bergaris. Getir, terutama dia merasa sudah begitu nyaman di tempatnya ini.

Aku membantunya boyongan kamar, itu saja yang bisa kulakukan. Tiga kali motor bolak-balik, seluruh barang terangkut habis. Seperti lusa, unyil kembali menyalak, tetapi volumenya agak diturunkkan. Menghadapinya, keberanianku mulai ada. Dan Wina tetap sigap menghalau kalau-kalau terpaksa, meskipun sambil meremehkan aku.

Kurang dari 1 jam kami sudah membereskan semua. Pak Wi sangat memudahkan kami. Lantai kamar dalam keadaan kinclong saat kami datang, meja rias dan lainnya bersih tanpa cela. Maka yang perlu tinggal meletakkan barang-barang pada tempatnya.

Wina melihat-lihat seisi kamar layaknya mandor sedang inspeksi. Aku teringat sesuatu, hati-hati kubuka laci meja rias. Apa kabarnya tangkai itu?

Ternyata masih ada. Tetapi ia layu sekarang. Mungkin saja, mungkin, tetapi ini menguatkanku agar berpikir logis, bunga ini memang milik Pak Wi. Soal lainnya, apakah dia menyukai bunga, dari mana dia mendapatkannya, kenapa aku harus pusing? Hanya saja demi mencegah pertanyaan Wina yang tidak kuharapkan, aku segera menyingkirkan bunga tersebut.

Tahu-tahu Wina mengajakku bicara, pelan ucapannya karena suara lebih menggema di rumah ini.

"Kenapa kita harus pindah ke sini?"

Aku hanya mengangkat bahu. Pertanyaannya terlalu menggantung.

"Ada yang aneh waktu aku ke sini kemarin buat bayar kos."

"Apa itu?" Aku jadi turut merendahkan suara.

"Penjaga itu bilang, 'benar mau di sini,
ndak mau pikir-pikir, cari yang lain, begitu?', aneh, kan?"

"Mungkin itu standar kesopanan dia sebagai penjaga kos?"

"Kesopanan?"

"Kira-kira itulah, memang dia cuma bilang begitu pada kamu saja? Kamu nggak tahu, toh?"

"Tapi tetap saja..."

"Karena kamu sudah berpikir negatif sejak awal. Lagipula apa alasannya kamu tanya rumah ini angker waktu itu?"

"Itu jelas ada alasannya?" Bicaranya kini agak ditekan.

"Alasan?"

Wina mendekatkan wajah lebih dekat padaku. Berbicara lebih pelan, nyaris membisik kalimatnya, tetapi kemudian terputus.

"Gimana, Mbak Wina, masih beres-beres?"

Ya ampun, itu suara Pak Wi. Sekonyong-konyong saja dia datang. Padahal kami seharusnya merasakan kedatangannya dari bunyi pintu koboi.

"Ya begini, Pak, ehmm," Wina yang menyahut, suaranya cukup kentara menahan kikuk, " adem juga ya di sini."

Pak Wi tersenyum, senyum yang paling lebar di antara sebelumnya. Seakan-akan dia sangat puas setelah menyesaikan tugas berat.

"Mau teh? Biar saya bikinkan dulu."

Kami menolak buru-buru, tetapi ia tak menggubris. Langkahnya segera menghilang, terdengar bunyi pintu di tangga kali ini.

Pak Wi tidak berbasa-basi. Sebentar saja dia kembali naik dengan sebuah baki merah. Isinya es teh. Aku dan Wina saling menatap, tidak enak hati. Tetapi di hati kecil aku mensyukuri nikmat ini, apalagi langit di luar begitu telanjang.

"Terima kasih, Pak Wi," ujar kami serempak. "Baru datang belum sehari sudah bikin repot," Wina melanjutkan.

"Ah ndak masalah, kalau butuh apa-apa panggil saya saja," katanya.

[Real Story] Kost Angker Pejaten Jakarta Selatan [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang