Dia Kembali

13 0 0
                                    

Ketika lepas waktu ashar, cuaca berubah tidak lagi sesengat tadi. Mendongak kepalaku, di atas antara mendung dan cerah, seperti nasib mencari tempat tinggal baru yang tidak pasti.

Kubimbing kakiku masuk ke rumah berjin. Ini bisa diumpamakan gerakan robotik, pasalnya tidak ada pilihan lain untuk mengisi waktu di luar. Akhir-akhir ini, saban waktu memasuki bangunan ini aku selalu berpikir, apa yang terjadi di dalam? Apa yang akan kutemui lagi? Ketakutan, kengerian, dan helai-helai kejadian yang pada penghujungnya kian berkelit-kelit dan kusut.

Pintu ruangan yang terdalam kudorong hingga berbunyi lebih dari biasanya.

Aku terhenti, dan sudah sepantasnya aku tidak bergerak. Lalu aku berpikir bahwa aku baru mendapat hadiah yang tidak main-main. Peraasaan senang berbuncah-buncah dan pompa darahku saat ini pula degup mendegup.

Seseorang di kursi makan menyadari kedatanganku. Dia memicingkan mata dan menempa tatapan itu pada tempatnya hingga cukup lama. Bertambah-tambahlah perasaan yang susah diatur itu. Rambutnya lebih pendek dari penglihatanku yang terakhir, ketika kami bersama- sama berangkat ke padang penuh hasrat. Dengan mahkota yang terpangkas itu aku dapat mengerti dia punya batang leher yang begitu jenjang dan berkilau.

Tatapan itu berbalas tatapanku. Kubiarkan jantungku membesar dan bekerja lebih pacu. Tetapi lama-lama aku insyaf bahwa perlakuanku ini telah melampaui batas dan kurang ajar.

Maka kuakhiri kekurang ajaranku dengan menyapa perempuan itu.

“Apa kabar? Kenapa lama enggak kelihatan.”

Alvin, Alvin, apa yang barusan kau buat dengan pertanyaan bodoh itu?

Hei! jawabku sendiri, aku hanya menanyakan kabar, di mana kelirunya?

Bodoh! Tentu saja kau baru saja menggugat kepergiannya selama ini. Apa susahnya membuang diksi “kenapa” dalam pertanyaan itu!?
Sudah, cukup! Lidah memang berliur sehingga mudah tergelincir!

Aku harus mendamaikan diriku sendiri yang berlawanan. Tetapi kata sudah diucap, lacur sudah semua. Benar juga, tidak haknya aku bertanya begitu. Kupikir aku siapa dalam hidupnya?

Mulailah isi kepalaku berputar tidak karuan, mulailah menggaruk-garuk kepala dan hidung yang berminyak, mulailah melakukan apapun yang tidak perlu. Dan perempuan itu bahkan sudah tidak memandangku lagi. Tetapi ia berkata sebelum mereguk minuman dari gelas yang mengeluarkan asap.

“Sepertinya kamu mencari-cari aku?”

Ciaaat! Serangan pertama barusan dilancarkan. Lugas juga biang beranak satu ini. Dari wajahnya, kupikir Ibu Fani tidak suka main-main, meski ia menyukai permainan.

“Makanan unyil hampir habis. Kalau saja Mbak enggak pulang, pasti anjing itu perlu ke klinik lagi.”

Ia menyingsingkan senyum sambil mengangkat alis. Diam-diam aku sudah semakin dekat dari duduknya. Kutarik sebuah kursi dan sekarang aku duduk berhadapan dengan Mbak Fani.

“Jadi kamu sering kasih unyil makan?”

“Ehhm, enggak juga. Tapi anjing itu sering kelihatan lapar kalau melihatku.”

Mulutnya terungkap lebih lebar sehingga dapat kulihat giginya yang berderet teratur.

“Aku sebenarnya mau ke vet sore ini,” ujarnya sambil mereguk minuman. Aku bisa mencium aroma cokelat dari gelasnya.

“Untuk apa?”

“Biasa, grooming sama periksa rutin.”

“Ooooo.”

Kusadari selanjutnya bahwa sahutanku teramat singkat, bahkan serupa orang yang menolak nasib mujur. Jadi kusambung saja sekalian, tentu saja dengan hati buaya.

[Real Story] Kost Angker Pejaten Jakarta Selatan [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang