Dekat

11 2 0
                                    

Ketukan pintu kamar memaksaku bangun selekasnya. Berjalan setengah sadar, kemudian tampak wajah Wina dengan alis yang pudar. Rautnya kurang enak pagi ini. Pintu ditahan dari luar seakan-akan ada yang ingin dikatakannya.

“Aku sama papa,” bisiknya dari dekat sekali.

Apa dia bilang?

Hoaa! Panik seketika. Mau ditaruh di mana wajah kusam ini. Gigi belum lagi putih, mata penuh tahi, celana kolor! Aku berlari di tempat sambil memikirkan cara keluar dari kamar ini. Setengah mati aku kalut, belakangan Wina malah membuka mulutnya lebar-lebar untuk tertawa.

Kehed!* Aku baru saja dikerjai.

“Papa sudah pulang,” katanya setelah puas membuat kegaduhan.

“Hmm.”

“Sok cool. Bukannya bersyukur papaku nggak jadi ke sini.”

“Hmm.”

Wina meninju lemah dadaku sekali. “Semalam aku datang ke hotelnya.”

“Syukurlah, biar enggak durhaka. Orang tua datang malah nginap di rumah teman.”

“Masa katanya, aku disuruh tunggu awal bulan aja.”

“Jadi niat kamu cuma minta jajan?”

Alih-alih mengiyakan, Wina memilih menyidak kamar ini. Aku tahu jawabannya pasti iya. Aku berlindung pada Allah dari mempunyai keturunan yang bertabiat semacam dia. Tetapi kemudian aku menyadari sifatku lebih buruk dari Wina.

“Kelihatannya sudah pada layu dan basi, kenapa belum diangkat?” Wina berkomentar setelah memeriksa sajian di atas lemari. Karena kekurangan tinggi badan, mau tidak mau ia melihatnya dengan naik ke meja rias dan kayu lemari.

“Apa yang basi?”

“Bubur itu.”

“Oh. Itu sengaja. Jinnya konon mengidap diabetes.”

“Maksud ngana? Sengaja makan bubur dingin supaya kadar gulanya rendah!?”

“Tapi kamu mungkin enggak percaya, dua malam ini kamar terasa adem betul.”

“Oh ya?”

“Rasain aja sendiri.”

“Kalau kata Moris, ini namanya jaga pelanggan.”

“Bisa juga. Supaya ketagihan nyajen, ya.”

“Pastilah. Setan begitu-begitu punya insting manggaleh* juga.”

“Kalau kata Moris juga, ini yang namanya voor 1.5.”

“Au ah! Aku mandi dulu ya, mau jalan sama Siska.”

Bukannya anak ini ujian, pikirku dengan wajah keheranan.

“Hari ini ujian terakhir, maghrib. Mau beli Onyx,” Wina menyungging genit.

“Lho, hapemu yang sekarang?”

“Tukar tambah lah.”

“Lho, uang dari mana?”

“Papa.”

“Ya Tuhan! Katanya....”

“Aku dikasih buat beli handphone, tapi uang jajan nggak.”

Kembali aku memanjat doa seperti yang tadi.

***



Begitu pagi menjajak siang aku turun dari kamar untuk memulai aktivitas. Sebelum Wina pergi telah kuserahkan flashdisk yang isinya dua bab skripsi public relations. Harapanku pasien segera menghadap dosen pembimbing dan pulang dengan sedikit coretan. Dengan begitu bayaran lebih cepat diterima.

[Real Story] Kost Angker Pejaten Jakarta Selatan [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang