“Dari awal aku percaya, kamu terlalu muda untuk mengalami yang seperti ini.”
Fani mengakhiri kalimat itu sambil terkekeh seolah-olah meremehkanku. Namun setelah itu matanya tercenung hingga sedikit berlapis kaca.
“Aaah, Alvin, kamu mirip banget kakakku. Konyol, manja, enggak mau kalah, selalu berlagak teliti padahal tanpa perhitungan dan....mudah berjanji!”
“Kupikir aku enggak pernah lagi bertemu pria seperti dia,” Fani menoleh kepadaku dan menyeka matanya sehingga kembali terang.
“Mbak Fani punya kakak?”
Telunjuknya dilempar ke sebuah lukisan keluarga. Aku mendekat ke bingkai supaya lebih jelas. Dan entah dipengaruhi ucapannya atau memang kebetulan, rupa pemuda dalam lukisan itu mirip denganku sendiri. Sialan! Ke mana saja aku padahal saban hari melewati gambar ini.
“Kalian sepertinya akrab,” kataku menebak saat sudah kembali ke kursi makan.
“Gimana ya jelasinnya...Mungkin kalau bukan satu adonan sudah aku pacari dia.”
Aku berdecak kagum mendengarnya. Kerukunan kakak beradik tentu saja mewakili bagaimana orang tua mendidik.
“Kami bersaudara kembar.”
“Wow! Bagaimana bisa?”
Dia bersiap-siap melancarkan serangan, namun akhirnya hanya berpura-pura.
“Tapi baru-baru ini aku merasa beruntung banget lho, Mbak.”
“Iya?”
“Barusan kamu bilang aku mirip kakakmu.”
Fani menahan senyumnya, tapi aku berbesar kepala menduga lubuk hatinya sedang bermekaran.
“Kamu sudah berapa lama jalan sama Wina?”
Kujawab sejujurnya, “Tiga bulan.”
“Hmmft, pantas aja.”
“Pantas kenapa?”
“Kamu pasti mendapatkan Wina enggak halal, kan?”
Jidatku berkerut menerka maksudnya.
“Kamu datang tiba-tiba...terus terus terus hubungan mereka berakhir, ya?”
Secara langsung dia baru saja menuduhku pria ketiga. Apa-apaan ini!?
“Eh, bukan begitu ya....” aku belum lagi selesai membantah sudah diserang.
“Memang bukan begitu,” suaranya mengendur.
“Terus?” mengencang suaraku.
“Saat kamu datang, Wina punya laki, kan?”
“Punya, eh, putus. Eh...”
“Nah?!”
“Mereka berantem hebat. Pasti putus juga!” aku ngotot.
Mbak Fani terpingkal-pingkal sampai memegangi perutnya. Sudahlah, tak ada gunanya berdebat panjang.
“Semua sudah terjadi juga,” kataku pelan. Tetapi perempuan ini justru kian bertambah tawanya.
“Kok kamu bisa tahu!? Sengaja cari tahu?” aku setengah malu.
Sambil berusaha menahan tawa ia berkata putus-putus, “Kubilang...kamu mirip kakakku. Persis!”
Dering telepon kedengaran sayup, sumbernya dari kamar Fani. Cepat-cepat dia mengontrol diri lalu mengejar nada tersebut. Niscaya aku sendirian lagi ditemani kopi yang sudah tampak ampasnya.
Kira-kira 15 menit pualam itu kembali namun potongannya terlihat akan pergi. Sybillia mapan dalam baby carrier yang dipasang di depan.
“Aku pergi dulu, Vin, ada meeting. Kebetulan Wina ada di depan tuh, ngobrol sama Lis.”
Kemudian aku tahu, itulah perbincangan kami yang terakhir sebelum Fani mungkin pergi untuk urusan musik selama lima hari.
***
Malam berdenyut lambat dan Wina belum lagi pulang. Sekalipun tadi menampakkan diri tak lain untuk kembali pergi. Perempuan tak boleh dikekang-kekang, apalagi masih muda dan mudah ingin. Aku berprinsip begitu. Bahkan umpamanya hubungan ini dapat menggelanggang lebih lama, kebebasannya takkan berkurang.
Yang tidak diketahui Wina, aku sudah mengantongi nama-nama semua temannya. Di antaranya malah kami jadi teman akrab. Tentu saja hal ini kulakukan demi melacak gerak-geriknya. Terkadang strategi begini saja masih kebobolan, seperti yang berlangsung beberapa waktu lalu, Wina sedikit-sedikit masih berpaling pada bekasnya. Untung saja penulis tak kasat mata hadir tanpa diduga-duga, memberi informasi yang kubutuhkan.
Dan malam ini, kabar dari teman Wina sendiri, ia pergi untuk bersenang-senang di pusat keramaian bernama Senopati.
Aku beralih dari sisi kasur yang satu sisi yang lain. Maksudnya memeriksa buku obrolan antara aku dan jin penulis.
Satu paragraf teraktual rupanya tertulis di situ:
“Kamu telah menyingkirkan benda-benda itu dengan amarah sebenar-benarnya. Bertahanlah seandainya kamu punya kekuatan, ia akan memberimu pelajaran dari murkanya.”
Kelihatannya ini seperti ancaman atau sesuatu lain yang bermakna menakut-nakuti. Tak begitu lama kubalas tulisan itu supaya mendapat penjelasan. Tetapi hasilnya aku hanya membuang-buang waktu. Barangkali penulis itu sedang asyik menikmati waktunya sendiri.
Bergeser lagi ke sisi yang lain. Jendela. Daun ini perlu dibuka agar dalam ruangan lebih berangin. Di tepi jendela yang menganga aku mengawasi kebun pisang yang dahannya berdesir-desir. Pukul berapa ini? Ooo 11.50 malam, aku bertanya sekaligus menjawab seorang diri.
Di bawah...gelap, dan sebaiknya kuhindari memandangi area itu terlalu lama. Tunggu dulu, tahan benakku, di bawah itu tampaknya ada seseorang berdiri. Sepertinya pria. Perawakannya sedang dan berpeci, kalau tidak salah lihat. Jelasnya, dia bukan Pak Wi, sebab Fani tadi sempat memastikan Pak Wi menginap di rumah Mbak Asih.
Sosok laki-laki itu kemudian bergerak pelan dengan kakinya. Seperti bertujuan mencari tahu. Jalannya menyiratkan situasi hatinya tidak terganggu pekatnya malam. Berlanjut-lanjut aku mengikuti geraknya dari ketinggian. Manakala pria berpeci itu berada segaris lurus di bawah, kepalanya mendongak sehingga pandangan kami bersinggungan.
Sempat alisku berkedut melihat wajah laki-laki itu. Dialah yang kulihat malam ini. Wujudnya sama sekali baru, datang bersama Lis. Ya Tuhan, kenapa aku baru sadar sekarang!
Inilah yang seharusnya kuceritakan...
![](https://img.wattpad.com/cover/265698838-288-k177326.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
[Real Story] Kost Angker Pejaten Jakarta Selatan [Complete]
TerrorCerita berikut adalah kisah nyata yang sempat fenomenal di Kaskus pada tahun 2016. Saya sebagai reuploader sudah mendapatkan izin dan restu dari pihak pertama. Selamat membaca and Stay Creep...