Kesaksian Mbak Asih

11 3 0
                                    

Teka-teki ini harus kupecahkan seorang diri. Ada permainan psikis dan nalar dari suatu pertunjukan terselubung. Kupikir Pak Wi terang-terangan mencoba mempermainkan aku. Keterangan Azazil sementara ini lebih dapat dipercaya walau ada juga potensi salah. Paling tidak diperkuat oleh Pak Wi yang memberikan air yang disebutnya zam zam.

Eh, bukankah Lis sebelumnya juga diberi semacam air yang sama?!

Aku masih mengingat dengan baik kejadian beberapa waktu lalu:

“Apa itu, Mbak Lis?”

“Air, dari Pak Wi.”

Demikian sebelum beberapa hari kemudian Lis tiba-tiba dirasuki jin yang entah bagaimana metodenya, berliter-liter air memenuhi perutnya.

Sambil menyusuri malam yang kian surut aku terus memikirkan lembar demi lembar peristiwa. Petunjuknya macam-macam tetapi aku seolah-olah justru berpeluang tersesat oleh karena terlalu banyaknya petunjuk.

Kemudian tentang film dalam cermin itu…, bisa saja menjadi semacam arah yang sengaja ditunjukkan oleh si penulis misterius. Kalau benar begitu aku menarik dua kemungkinan. Pertama, Pak Wi sedang merencanakan ritual perjanjian dengan Sukma. Kemungkinan lainnya, itu adalah gambaran yang nyata sedang terjadi!

Aku tiba-tiba saja menggigil sepintas membayangkan pikiran sendiri. Kupercepat langkah menghabiskan Jalan Pejaten Raya yang telah tidur lelap. Di sebuah convenience store aku berhenti untuk memesan minuman panas.

Beberapa teguk kafein telah cukup membuat tenang. Seharusnya aku bisa lebih lama lagi terjaga. Namun kenyataannya tiada yang dapat kuingat selebihnya.

***


Aku terjaga oleh beberapa tepukan. Seorang pria, potongannya seperti juru parkir. Ia mengenakan rompi hijau bergaris-garis biru.

Pria itu tak bicara sepatah kata pun tapi aku cukup mengerti yang ada dalam pikirannya. Tatap matanya mengumumkan bahwa malam sudah lewat. Yang tampak sekarang ini memang pemandangan jalan sudah berubah menjadi ketidak karuan. Klakson-klakson dari kendaraan yang tidak sabar Cumiik-mekik.

Ponselku masih ada di atas meja. Astaga! Beruntung tidak hilang. Walau hanya perangkat seadanya, bakal repot kalau kehilangan. Handphone ini sangat berjasa, begitu pun kartunya. Dengan modal seribu dua ribu perak aku bisa menelepon orang sampai bosan.

Kemudian aku bergegas ke kamar belakang. Membasuh muka agar punya semangat dan sedikit pantas, lalu pesan air minum dan kafein lagi.

Sambil menikmati hangat di bawah payung, semangat juru parkir dalam melakukan pekerjaannya lumayan enak dilihat. Dan rupa-rupanya aku baru ingat, laki-laki itu masih sama dengan yang tadi malam. Maka sudah jadi hukumnya aku mengucapkan terima kasih sekarang juga.

“Bang, terima kasih ya. Kalau nggak ada abang, ehmm, pasti sudah bablas handphone saya.”

Dia tersenyum saja. Senyum singkat. Aku berniat memberinya selembar uang, tak banyak nilainya, dimaksudkan sebagai ungkapan bersyukur. Namun dia menolak. Sungguh menolak walau dipaksa-paksa. Baiklah, aku takkan menggoda ketulusannya.

“Shift sampai jam berapa, bang?”

Penjaga parkir hanya tersenyum lagi lalu mengangkat delapan jari.

“Oooo…”

Lantas ia memberi isyarat yang lain dengan satu telunjuk. Ah, ada seorang maksudnya…, orang itu menghampiriku?

Aku baru lagi paham, tukang parkir ini bisu dalam pengertian tak mampu bicara normal.

Dia melanjutkan informasinya dan aku secara naluriah berupaya menarik artinya. Orang itu datang hanya untuk melihat-lihat diriku…, hanya sebentar kemudian pergi…, dia mengenakan baju rapi, sarung…

[Real Story] Kost Angker Pejaten Jakarta Selatan [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang