Kemarahan Pak Wi

12 1 0
                                    

Aku memilih tidak begitu memikirkan keanehan yang baru saja aku alami. Banyak waktu terbuang jika terus merawat rasa takut. Sedangkan ada janji yang mesti tertagih malam ini. Penulis itu.

Buku catatan kubuka. Halaman masih mulus. Aku yang mengawali bertanya. “Apa yang ingin kau tunjukkan malam ini?”

Catatan itu tetap terbuka, hanya pandangan kualihkan sejenak. Begitu kembali aku mendapat kabar terkini.

“Pria dalam foto itu Haji Mufid. Dialah yang menyimpan darah Sukma untuk pelarungan terakhir.”

“Apa yang diinginkannya?” timpalku segera.

“Perjanjian Sukma dengan setan yang belum tuntas.”

“Beritahukan yang bakal terjadi bila perjanjian itu terlaksana.”

“Apa pun yang diinginkan.”

“Apa pun?” aku harus memastikan kata-kata yang telah kudengar sebelumnya.

“Pemegang kekuatan jahat itu berkuasa atas segalanya. Bahkan menghidupkan yang mati atau melenyapkan kehidupan. Apa yang lebih hebat lagi?”

Aku tertawa keras-keras. “Mustahil!”

“Apa yang mustahil?”

“Hanya Tuhan yang berkuasa atas hidup dan mati!” tinggi suaraku.

“Benar, tetapi melalui perantaraan yang lain. Bukannya kamu sendiri yang katakan itu?” ternyata ia serius mengatakan itu.

“Bagaimana menghentikannya?” aku mendesak langsung ke inti masalah.

Sesuatu yang aneh terjadi. Buku catatan terpental sendirinya. Belum habis keherananku, pintu kamar diketuk dari luar.

“Pak Wi?”

Penjaga rumah ini sengaja melewatkan pertanyaanku. Mukanya membawa tanda tanya, mengedari kamar Wina dengan kesan curiga.

“Kamu dengan siapa?” pertanyaan yang tidak masuk akal. Matanya sendiri sudah memeriksa kamar!

“Yang Pak Wi lihat?”

Pak Wi tidak menjawab, hanya memanggut-manggut pelan.

“Ada perlu apa, Pak Wi?” aku merasa berhak mengetahui maksud kedatangannya.

“Bukan apa-apa,” dia menjawab sambil mengembalikan matanya mengitari kamar. “Kalau malam jangan berisik. Akhir-akhir ini saya lebih suka tidur di bawah.”

Orang tua itu dengan enteng pergi setelah mengucapkan perkataan yang sulit dimengerti. Pasalnya ia mengatakan hal itu juga kemarin malam. Aku perlu curiga, bahwa ia sedang mencari tahu kegiatanku. Siapa tahu Pak Wi punya firasat terhadap rencanaku.

Aku mengawasi Pak Wi dari atas untuk menjamin keberadaannya. Ternyata ia berhenti di ranjang bawah. Televisi menyala dengan volumenya yang pelan. Sekarang aku lebih mantap kembali ke kamar. Duduk di tempat semula, kursi rias, buku itu kemudian memberi pengetahuan terbaru.

“Ketika Haji Mufid memperbaiki bangunan ini, dia juga menyelundupkan benda berharga. Seorang pun tidak ada yang tahu. Jelasnya itu sebuah perangkap.”

“Benda apa itu?” aku langsung menuntut. Namun pikiranku juga tertuju pada kemungkinannya, yaitu, “Peti abu pembakaran…dan darah Sukma?”

Ia menjawab,

“Kau lebih pintar rupanya dari yang aku kira. Sebuah kotak berbahan kayu. Warnanya hitam. Haji Mufid dengan sengaja menyembunyikannya di bawah salah satu granit di dalam kamar Fani.”

“Apa maksud dari perbuatannya itu, hah? Sebagai perangkap supaya berhasil menuntaskan perjanjian itu?”

“Lelaki tua itu menghabiskan banyak waktu sepanjang hidupnya demi mendapatkan kekuatan yang dijanjikan. Tetapi ia tak mampu…, dan akhir-akhirnya menyerah. Dia mengincar rumah ini sejak semula hanya untuk menyelamatkan diri. Ada kekuatan di balik rumah ini yang dianggapnya sanggup menahan kejahatan Sukma.”

[Real Story] Kost Angker Pejaten Jakarta Selatan [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang