Belajar Menghitung

13 1 0
                                    

Dalam beberapa jam saja begitu cepatnya situasi berputar. Aku telah melihat sebuah keluarga fiktif menggelar perjamuan makan malam. Kemudian nyaris bercampur dengan sosok astral. Dan akhirnya mengetahui lebih banyak rahasia yang sebelum-sebelumnya tersimpan di dalam ruang gelap.

Sukma berhasil menjebak diriku. Dengan cermat dan teratur. Aku mesti mendengarkan Fani; keluar dari rumah ini sebelum waktunya. Tetapi kapan persisnya waktu itu, entah.

Baterai ponsel habis bersamaan dengan kata-kata Fani yang terakhir. Maka segala urusan mulai saat ini menjadi tanggung jawabku.

Aku berlari turun. Hanya kira-kira 25 meter untuk keluar dari bangunan ini. Di bawah tangga langkahku terselingkap. Jatuh tersungkur untuk segera bangkit demi menggapai pintu.

Akan tetapi ada saja keadaan yang menyulitkan. Pintu menuju keluar terkunci tanpa sebab. Sedangkan cuma ini satu-satunya jalan yang mudah. Aku menggeram dan itu tidak berguna, kupikir juga memanggil-manggil Tuhan sambil merogohi tas, mencari kunci. Kuncinya dapat, daun pintu belum mau bergerak. Berulang-ulang aku memasukkan kunci yang aku punya tapi tetap sia-sia jadinya.

Tidak ingin menyerah, aku memikirkan cara lain sambil bergerak. Pintu dapur belakang. Ya itu! Dari pekarangan belakang aku bisa memanjat dinding setinggi tiga meter lebih lalu keluar menerabas sepetak kebun pisang.

Sialnya lagi pintu masuk ke dapur pun sekarang terkunci. Aku mengincar kamar Mas Ron, berharap ada jendela yang menghubungkan halaman belakang. Nyatanya sama saja pintunya alot, sebab memang ditinggal penghuninya.

Terus mencari akal, memikirkan celah untuk melepaskan diri. Kamar mandi di sebelah dapur memberi sedikit harapan. Pada dinding belakangnya tertanam sebuah lubang udara persegi panjang. Tak ingin membuang waktu aku langsung mencari alat pemecah. Dapatlah sebuah martil di bawah ranjang Pak Wi.

Prangg! Kaca pecah berkeping-keping lalu berserak-serak sebagiannya menjatuhi ubin. Kedua kakiku naik ke sisi bak kamar mandi. Mencoba keluar mulai dari kepala. Sulit rupanya. Beberapa kali percobaan selalu gagal.

Bagaimana mungkin berhasil, ujar batinku setelah menyerah. Lubangnya hanya seukuran kardus sepatu!

Dahi, tengkuk hingga telapak tangan mulai basah. Peluh cepat meluap tanpa terkendali. Sempat berkelibat ide melompat dari jendela kamar Wina. Namun kuurungkan lantaran bekas pen di betis kanan beberapa tahun silam. Aku khawatir beban gravitasi yang terlalu kuat bisa berakibat fatal terhadap trauma fibula.

Aku harus berpikir lebih tangkas. Anjing pom bernama unyil sedang tidur nyenyak di bawah dipan kayu. Rasa-rasanya ia tidak bisa dimintai bantuan.

Lantas seketika saja datang pikiran untuk bertanya pada Azazil, meski aku tak begitu yakin lagi atas informasinya, sebab ia bisa saja sudah dibohongi Sukma.

Kuturunkan ransel untuk mengeluarkan benda yang kumaksud.

Sebelum sempat menulis pertanyaan lebih dulu aku membaca kabar terbaru:

"Bahkan makhluk sepertiku terkecoh oleh tipu daya Sukma. Pak Wi tidak seperti yang pernah kukatakan. Aku terlambat memberitahu untuk tidak mendekati sosok menyerupai Fani yang sebelumnya kau temui."

Pembacaanku berhenti karena ada suatu hal yang tidak beres. Aku mendengar suara yang mengucapkan kata-kata dalam tulisan itu dari belakang; tiga kalimat yang sama persis dari apa yang kubaca.

Aku memalingkan wajah tetapi tidak menemukan apa-apa.

Kembali pada keterangan lanjutannya:

"Akan tetapi semuanya sudah terlambat. Sebagian jiwanya siap bersemayam di dalam tubuhmu. Untuk menghentikannya kau tidak punya pilihan lagi. Temukan kotak itu untuk kemudian melakukan ritus pamungkas sekaligus membenamkan kekuatannya, selama-lamanya. Tata cara melakukan ritus akan kau ketahui dengan sendirinya. Kau diharuskan mereguk abu jasad Sukma yang telah dicampuri darahnya dan darahmu sendiri. Waktunya hanya sedikit dari sekarang."

[Real Story] Kost Angker Pejaten Jakarta Selatan [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang