Penjelasan Ada Pada Pak Wi

12 2 0
                                    

Sejauh ini belum ada gangguan yang menyeramkan meskipun jam dinding telah berdentang satu kali. Penjelasan atas misteri rumah kos ini kuharap bisa lebih maju lagi.

Aku bergeser untuk membenahi benda-benda yang terjatuh oleh karena diriku terlalu bersemangat. Ada sebuah album foto lawas rupanya. Warna sampulnya krem, agak lusuh dan berdebu. Aku sulit menahan penasaran untuk melihat-lihat dalamnya.

Album ini menyimpan foto-foto keluarga dari masa lalu. Ada Fani saat anak-anak sampai remaja, seorang pria muda yang potongannya sedikit lebih dewasa, dan dua orang lain yang menurutku orang tuanya. Sesekali Pak Wi nongol; aku makin percaya Pak Wi sudah begitu lama ikut pada keluarga ini. Juga anjing-anjing yang berlainan jenisnya. Rumah ini rupanya selalu merawat anjing paling tidak seekor.

Aku tertarik pada bagian kiriman kartu pos di pertengahan album. Plastik pelindungnya sudah berkerak dilalap masa. Aku melihat tisu basah di meja lampu tidur. Cepat-cepat kubersihkan bagian tersebut.

Tulisannya:

"Bulan depan papa pulang. Baik-baiklah dengan kakak dan mama. Jangan lupa periksakan We dan atur makannya. Dia harus diet supaya tidak kambuh diabetes. Kalau sampai terjadi apa-apa, aku akan usahakan meminta Om Gede untuk berikan anjing pengganti."

Post card dikirim dari Manila, 19 Maret 1996. Kemungkinan Fani masih SLTA tingkat akhir.

Membuka beberapa lembar album selanjutnya dan berhenti pada selembar foto. Tampak lima orang yaitu Fani, dua orang tuanya, kakaknya, dan Pak Wi. Seekor anjing dari jenis golden bersama mereka. Totalnya enam. Aku mengira pada saat itu anjing yang namanya we sudah mati.

Tidak boleh dilupakan, aku masih belum menemukan makna angka 6 yang terakhir. Bagaimana kalau ternyata jawabannya adalah gambar ini.

Aku tidak boleh mudah percaya pada temuan yang paling baru ini. Selalu ada anjing di tengah mereka walau jenisnya berbeda-beda. Fani pernah bercerita tentang German Shepherd yang mati mendadak ditengarai lantaran menangkal teluh. Kehadiran anjing Kintamani bernama we—di samping mungkin kecintaan pada hewan kaki empat ini—adalah mutlak untuk menggantikan fungsi anjing sebelumnya. Dan foto yang terakhir kuamati bertanggal 2 Juni 1999. Anjing golden itu merupakan penghuni baru menggantikan anjing Kintamani.

Namun pengamatanku belum berakhir. Pada halaman-halaman berikutnya terpampang sebuah foto lain. Anggota keluarga itu berkurang satu. Hanya dua anak, seorang ayah, dan Pak Wi. Aku tidak melihat seekor anjing pun dalam foto tersebut. Tanggal yang tertera 2 Juni 2004. Kemudian aku menemukan gambar yang lebih baru. Bertanggal 2 Juni 2005. Hanya dua orang di situ, yakni Fani dan Pak Wi. Keluarga ini sudah mendapatkan anjing penunggu rumah, yakni yang sampai sekarang masih hidup.

Tepat di belakang foto yang bertiga aku menjumpai gambar Fani seorang diri di depan teras rumah. Ia menambahkan catatan di pinggir album, bertanggal 30 Maret 2003, "Sebelum renovasi. Semoga rumah menjadi surga."

Terdapat juga foto pada halaman yang lain, yaitu Pak Wi dan Fani. Ada tambahan catatan pinggir:

"Yang telah pergi dengan tenang. Semoga kami dalam berkah dan damai.

2 Juni 2006."

Tahun-tahun berikutnya dua orang itu tetap melakukan pemotretan bersama sampai 2008. Foto terakhir mereka berempat. Fani menggendong bayi merah Sybillia. Pak Wi memangku unyil.

"2 Juni 2008

Yang gugur diganti yang tumbuh."

Penglihatan yang terakhir seketika melecut pikiran. Aku lebih percaya diri untuk mengucapkan bahwa aku baru saja membongkar makna angka 6 yang paling akhir. Bukan tentang anjing-anjing yang menjaga rumah ini, sebab mereka datang dan pergi silih berganti. Jika 6 bermakna anggota keluarga, mestinya hanya seekor anjing yang terlibat dalam cerita. Faktanya keluarga Fani memelihara paling tidak empat ekor anjing di waktu yang berlainan.

Kenyataan lainnya dalam misteri ini terlalu menarik untuk diikuti, tetapi sebagiannya tidak terkait dengan inti masalah.

Alih-alih membereskan benda yang berjatuhan, aku malah ingin mengacak-acak isi kamar ini lebih banyak lagi. Aku tidak perlu persetujuan siapa pun untuk melakukannya. Dalam beberapa detik saja rak arsip sudah aku buat berantakan. Aku harus mencari tahu awal mula Pak Wi demi menjelaskan kedudukannya di dalam rumah ini.

Beruntungnya aku segera mendapatkan apa yang aku cari. Ada sebuah kotak penyimpanan berlapis beludru berisi surat-surat pos. Aku memeriksa dengan cepat dari pengirimnya dan penerimanya. Satu persatu hingga berhenti pada sepucuk amplop coklat yang sudah layu kertasnya.

“Kepada: Dik Winarto di Baturaja

……Menurut kabar yang aku baca dari tulisan Dik Winarto sendiri, aku punya pandangan agar Dik Winarto sudah sebaiknya kembali ke Jakarta. Kehidupan pekerja perkebunan tidaklah semudah yang banyak orang kira. Ada yang senang dan berhasil tetapi banyak juga yang menderita. Cerita yang seperti itu sudah ada dari dulu. Dari zaman Belanda, dari zaman bapak ibu kita dan orang-orang tua di pesisir selatan Purworejo. Dan untuk Dik Winarto yang hidup seorang diri, tidak beristri tidak beradik-kakak, aku kuatir kesulitan itu rasanya bisa bertambah.

Kehidupan di Jakarta sekarang-sekarang sudah lebih bagus. Orang-orang di pelosok gang sudah ramai bicara kerja di pabrik Jepang atau kerja-kerja mesin di mana saja. Ini kesempatan yang tidak boleh didiamkan. Aku sendiri sedang menggerakkan usaha mengirim barang ke Surabaya dan Madura dan asal Dik Winarto tahu, kehadiran Dik Winarto sungguh sangat aku harapkan. Dik Winarto bisa mengerjakan surat menyurat, menerima tamu, mencatat barang, mengatur waktu pengiriman dan soal-soal lain yang banyaknya tidak terkira. Sejujurnya aku menginginkan Dik Winarto menerima. Apalagi Dik Winarto sudah saya anggap seratus persen adik kandung sendiri.

Setelah surat ini sampai di tangan aku harapkan Dik Winarto cepat ambil keputusan. Jika keputusannya tidak bertentangan dari pada keinginanku, aku akan atur kepulangan Dik Winarto. Apa-apa saja yang perlu dibawa dicatat agar dikirimkan ke Jakarta….”

Beberapa paragraf tersebut aku penggal dari sepucuk surat yang dikirim akhir tahun 1974. Aku pun menemukan surat balasannya, juga surat-surat lainnya yang dialamatkan kepada Pak Wi. Nampaknya dari sini Pak Wi tergolong orang yang begitu tekun merawat apa saja. Sebab bahkan surat-surat yang diterimanya dia simpan dan dikembalikan lagi untuk diarsipkan.

Akan tetapi yang lebih utama dari isi surat itu ialah status Pak Wi. Dia dan keluarga ini sudah memiliki kedekatan sejak dulu. Bukan semata karib, Pak Wi malah barangkali memiliki ikatan kekerabatan turun temurun bahkan bisa-bisa masih berkerabat dalam jalur yang sangat dekat. Dengan kenyataan masa kecil Pak Wi yang begitu menderita, pasti ada orang lain yang mengasuhnya menggantikan tugas orang tuanya. Selain itu aku bisa memastikan Pak Wi dan keluarga ini secara turun temurun berasal dari daerah yang sama.

Kendati demikian Pak Wi tidak otomatis menjadi bagian inti keluarga ini. Aku langsung ragu mengucapkan hal ini karena ini bukan perkara waris mewaris. Dari sudut pandang tertentu, Pak Wi sah-sah saja dianggap bagian keluarga. Toh paling-paling Pak Wi dimasukkan ke dalam satu kartu keluarga, benakku berkelakar.

Aku lebih mantap percaya bahwa Pak Wi adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keluarga dan rumah ini. Sedarah atau bukan itu jadi soal lain.

[Real Story] Kost Angker Pejaten Jakarta Selatan [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang