Senyuman Untuk Siapa?

11 1 0
                                    

“Gua pulang aja!” ujar Moris terburu-buru, melindungi mukanya yang cemas.

Menyaksikan temanku begitu ketakutan, tak sampai hati juga mencegah-cegah. Diam saja lebih baik. Wina pun bersikap begitu. Moris membuka pintu dengan hati-hati, sebab ruangan belum lagi terang. Byarpet! Serentak, daerah ini tak ubahnya kampung yang suram.

Tadi aku berharap pingsan saat ditampaki wujud yang jahat itu. Sebetulnya tak sadarkan diri lebih bagus dalam keadaan begitu, tapi kenyataannya aku malah terkencing sedikit. Moris mengalami yang lebih buruk gara-gara berusaha meloloskan diri dari kolong meja. Wina, entahlah.

Perlahan-lahan langkah Moris semakin menjauh hingga tak kedengaran lagi. Agaknya sulit keluar begini malam, pagar sudah dikunci. Namun dia masih bisa memanfaatkan akalnya dengan cara melompat.

“Mana lampu kapas yang tadi?” Itu Wina yang bertanya, sudah kupastikan bukan suara yang lain.

Kutunjuk meja rias, ia ada di sana. Benda itu sebutannya saja meja rias, tetapi fungsinya untuk menaruh dan menyimpan apa saja selagi cukup.

Wina meninggalkan duduknya, kemudian terdengar garetan pemantik api dan seketika kamar besar ini temaram. Kalau mau jujur, gelap sedikit lebih menyenangkan daripada diterangi ala kadarnya. Melihat bayangan benda-benda menjilati dinding dan langit-langit itu seperti...Aku jadi mengandaikan bayangan wajah yang terbalik tadi memantul-mantul.

“Kayanya masih kurang terang,” gumam Wina, tetapi malam membuat suaranya lebih jelas.

“Kalau enggak salah, ada mangkuk melamin di...”

“Sudah aku cuci di bawah,” jawab Wina.

Di dapur ada banyak mangkuk atau semacamnya yang bisa dipakai untuk mengalasi minyak dan kapas. Tetapi Wina malah memeriksa kamar ini. Kalau takut ke bawah sendirian kan dia bisa terus terang supaya ditemani, karena aku juga merasakan begitu.

“Dapat!” suara Wina terdengar senang.

“Apa itu?” mataku mudah ragu dalam remang cahaya.

Ia mendekatkan barang setengah bulat yang mirip mangkuk itu. Batok kelapa. Warnanya jelas cokelat kehitaman.

“Ada di pojok bawah lemari, mungkin punya penghuni sebelumnya.”

Dari mana asalnya, dada ini berdegup-degup. Aku sungguh-sungguh menaruh curiga dan ingin betul melarangnya. Tetapi Wina sudah berusaha cukup keras mencari alas minyak, dan sebuah larangan dalam situasi yang salah bisa menyebabkan pertengkaran.

Wina membagi minyak ke cawan baru, mencabut sehelai kapas dari bungkusnya. Lalu kapas itu dengan cepat terlumur, greet, greet, bunyi pemantik. Cahaya kuning menjilat-jilat, menambah terang kamar ini.

Tunggu...aku baru saja mengatakan cawan? Itu adalah wadah sesaji yang sama dari yang kutemukan sebelum-sebelumnya. Yang di bawah tangga, di bawah lukisan, juga yang dibawa Lis, lantas kenapa ada satu di sini.

Ini bukan suatu kewajaran, pikirku. Ada yang tidak beres telah terjadi di kamar ini.

“Kamu sedang mikirin apa?” Wina menyeret kesadaranku seketika. “Ayo kita mulai lagi nyari-nyari kosan baru untuk aku.”

“Moris benar,” ujarku.

“Semua orang udah bilang begitu. Kita aja yang gampang menyerah.”

“Kita?”

“Iya, kita.”

“Kamu seperti sedang nyalahin aku,” aku protes.

Wina mendekat untuk duduk bersampingan di kasur.

[Real Story] Kost Angker Pejaten Jakarta Selatan [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang