Azazil

13 1 0
                                    

Aku pernah menonton langsung ular sanca batik dengan tubuh panjangnya memangsa seekor kambing dan itu sungguh menarik. Tuhan melalui alam semesta memberikan kemampuan pada sanca untuk mendokumentasikan mangsanya dari sensor panas, lalu ia mendekat secara terang-terangan dengan gerakan yang tenang. Yang paling berarti buatku ialah, reptil itu selalu melilit tubuh korban dari bagian tengah hingga bawah. Sedangkan bagian atas atau kepala sengaja ia biarkan. Sulit membayangkan betapa sempurna pembunuhan itu. Anatomi mamalia, santapan utama sanca, menempatkan otak di bagian kepala. Otak berfungsi sebagai mesin kontrol atas segala hal. Rasa sakit, penglihatan, pendengaran, dan sebagainya. Yang aku dengar, sanca memerlukan waktu membunuh antara 10 sampai 20 menit. Sehingga tiap korbannya memiliki kesempatan melihat, mendengar, dan merasakan setiap jengkal penderitaan terakhir dalam hidupnya.

Ingatanku pada peristiwa tersebut sedikit banyak berkenaan dengan misteri yang memuncak malam ini. Azazil datang dengan maksud memangsa. Kemampuannya sangat baik untuk mengetahui dan selanjutnya memisahkan bagian mana yang lebih dulu harus dimatikan. Fani, Sybillia, dan Pak Wi akan mendapat gilirannya pertama kali. Baru sesudah itu Azazil akan melengkapi perburuannya pada yang terakhir; aku. Barangkali aku takkan mati, tapi sebagai manusia yang utuh, aku mati.

Azazil sekali-kali tidak berkenan mengadakan perjanjiannya dengan Haji Mufid. Mungkin saja ia memang hanya menghendaki Sukma sebelum tenung ini mati di tangan Mas Haji Satar. Sementara Sukma diharapkan hidup sampai umur 101 tahun. Dengan kata lain, wanita keji ini lahir dan mati pada hari dan mangsa yang sama. Sehingga pada hari kematian Sukma yang diharapkan, yakni hari ini, perjanjian antara dirinya dan Azazil terlaksana. Melalui perikatan tersebut Azazil merasuki tubuh Sukma, bersemayam di dalam jiwanya. Potensi seorang wanita hidup dalam usia begitu panjang tidak mustahil meski sangat sedikit. Namun garis nasib manusia rupanya tidak dapat direka-reka.

Mas Haji Satar dan anaknya yang durhaka semata-mata tidak mengetahui alurnya sampai sini. Mereka kira setan dapat diatur-atur seenak dengkul. Buat Azazil, kenyataan bahwa Haji Mufid nekat menumpahkan darah ayah kandungnya sendiri amat menyenangkan. Karena dengan itu ia merasa jumawa, berhasil menguasai manusia, yang menurut Tuhan disebut lebih mulia dari golongan setan dan jin.

Sejak semula Azazil rupanya memilih aku, apa alasannya, masih misterius. Yang penting begitu saja. Yang lebih penting bagaimana menghindari nasib. Aku sedang memilih takdir. Ngeri juga membayangkan hidup sebagai separo manusia separo setan. Sebagian orang-orang di negara ini menyebutnya siluman, biasanya berbentuk hewan, entah bagaimana ceritanya hewan dipilih jadi representasi siluman. Mungkin karena zaman dulu manusia hidup lebih berdekatan dengan hewan daripada zaman belakangan. Contohnya siluman kera, siluman babi, siluman ular, siluman buaya, siluman harimau. Cerita tentang siluman masih sering meramaikan pembicaraan orang-orang saat aku masih kecil. Sekarang makin jarang, mungkin disebabkan binatang-binatang tersebut kian sedikit jumlahnya. Kecuali di Amerika, kisah semacam siluman ini tetap mendapatkan kejayaannya, misalnya siluman laba-laba, siluman kucing, dan siluman kelelawar.

Aku merasa sudah berbicara hal yang kurang penting terlalu panjang. Pendek kata, aku harus mencari jalan keluar agar selamat.


***

Pak Wi memberitahu aku mengenai pokok penting—sebelum menjalankan ritual, sebenarnya Azazil yang memberitahu; Kemampuan Azazil terbatas pada orang yang menguasai peti pusaka. Sehingga aku mengerti mengapa setan itu tidak mampu membaca pikiranku. Bukan karena kamar Fani, melainkan terdapatnya benda itu. Aku pikir yang paling penting ialah cawan yang berisi darah Sukma. Kenapa? Oleh karena di dalam darah tenung itulah Azazil telah mengucapkan suatu ikrar.

Di bawah cahaya yang kuning redup dan bergolak-golak mantra itu telah kubaca. Banyaknya tidak aku kurangi juga tidak lebih. Kemudian aku menyiapkan wadah seperti mangkuk kecil, biasa ditemukan sebagai cinderamata pesta perkimpoian. Mangkuk itu sebelumnya berada di dapur, aku membawanya bersama lilin permintaan Pak Wi, gunanya menampung darahku. Lantas wadah ini aku masukkan ke dalam peti kayu, dan aku bersyukur masih ada ruang walau berhimpit-himpit.

[Real Story] Kost Angker Pejaten Jakarta Selatan [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang