Kaos, dalaman, sepatu kupasang sembarangan. Bergegas meninggalkan rumah Fani. Jahannam betul nafas kepayahan tanpa wujud itu!
Rencana menginap di rumah teman agaknya batal. Aku harus kembali untuk membaca keterangan si hantu penulis. Padahal aku sudah dibikin ngeri setengah hidup. Kenapa sih aku begini obsesi!? Bila motifnya untuk memenangkan Fani..ah, dia sudah menolak dengan tersirat. Dia juga sudah mencegah-cegah aku turut campur terlalu jauh. Sebaliknya jika demi Wina, kepentingan gadis ini semata-mata pindah dari rumah sialan itu.
Aku mengomeli diri sendiri sambil menyusuri Jalan Raya Ragunan. Tenda warung makan berderet-deret. Semuanya terkesan hambar. Sampai di sebuah lampu merah putar arah, menyusur sekali lagi. Karena lambung harus didamaikan aku pun memilih seadanya. Kedai Bakmi Jawa.
Warung ini ramai, kecuali kalau tutup. Diperlukan lima pria untuk membuat pesanan agar lebih cepat saji. Kelimanya bersekongkol sambil mengelilingi gerobak dan tungku masak. Satu orang menyiapkan bahan, seorang lainnya memasukkan bahan tersebut ke kuali besi, pria berikutnya bertugas khusus memasak, lalu di sebelahnya adalah spesialis pengawas api dan arang, dan seorang terakhir menjadi juru saji merangkap tukang bungkus-bungkus.
Tidak ada sedikit pun tempat untuk perempuan dalam pekerjaan ini. Memang tugasnya tugas fisik yang berat!
Aku memilih satu meja kosong terakhir di paling belakang kedai. Pesanan kira-kira baru siap setengah jam lagi. Menunggu bakmi goreng tiba aku melihat-lihat ponsel. Hanya pencat pencet tanpa kejelasan. Satu pesan Mbak Fani yang terdahulu kubaca lagi. Mendadak pula ingin tahu kabarnya.
Nada tunggu berbunyi. Aku menunggu dengan tenang. Mbak Fani tak bersuara hingga nada itu habis. Beberapa kali aku mengulang panggilan, akhirnya sama saja. Tanpa terasa bakmi goreng terhidang di meja. Pembakaran arang memperkuat aroma makanan ini. Semakin terhirup kian mengobarkan lapar. Maka aku menyantapnya dengan lahap.
Tahu-tahu saat menyantap Fani memanggil. Segera kutaruh sendok garpu ala kadarnya.
“Ada apa, vin? Aku baru sampai hotel.”
Ah, mendengar suaranya yang tandas saja aku langsung merasa kenyang. Bakmi yang tajam aromanya itu kini kurang lagi menggugah selera. Aku hanya berpikir untuk menahan percakapan ini selama mungkin. Dasar bau kencur!
“Bagaimana panggungmu hari ini? Sayang aku enggak bisa menonton kamu tampil.”
Mbak Fani tertawa renyah dari tempatnya. Kedengarannya ia bahagia. Namun keriangannya rupanya tak bertahan lama. Perempuan itu melenguh kasar lalu mengatakan sesuatu.
“Mungkin aku enggak lama di sini. Yah, uhmm, ada masalah kecil sih. Tapi kalau aku membiarkan diri terus di sini akan jadi masalah besar.”
“Maksudmu ada apa?” Aku begitu penasaran.
“Kamu gimana hari ini? Unyil sudah kamu kasih makan?” Ia sekali lagi tertawa senang. Barangkali tujuannya untuk mengubah arah obrolan. “Maaf, maksudku sebenarnya, kamu sudah makan?”
Gilirannya aku yang tertawa geli. Pertanyaan ini tak masuk akal.
“Makan itu kebutuhan manusia, nggak perlu ditanya,” aku menyuap garpu bakmi untuk memberitahu sedang makan.
“Kenapa kamu bilang begitu mbak? Yang tadi itu, ada masalah apa?” aku menyerobot jatahnya bicara.
“Sudah kubilang aku enggak suka dipanggil…”
“Aku ngerti, Fani. Ada masalah apa?”
Hening sebentar di sana. Fani kemudian mengalihkan ke pokok yang lain-lain. Tentang Sybillia yang belum-belum sudah minta pulang, tentang loen pia yang susah dicari rasa asinnya bahkan tentang hujan. Jadi aku mengerti, Fani ingin menyimpan masalah untuk dirinya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
[Real Story] Kost Angker Pejaten Jakarta Selatan [Complete]
HororCerita berikut adalah kisah nyata yang sempat fenomenal di Kaskus pada tahun 2016. Saya sebagai reuploader sudah mendapatkan izin dan restu dari pihak pertama. Selamat membaca and Stay Creep...