Relief

10 0 0
                                    

Ini adalah yang diceritakan Mbak Fani padaku setelah ia kembali sadar:

***

“Aku dan Pak Wi terlibat percekcokan beberapa hari lalu. Berawal dari aku yang terus terusan menuntutnya atas sebuah kamar kosong di lantai dua. Kamu pernah menanyakannya, bukan? Saat itu, sewaktu kita tak sengaja bertemu di warung makan pada malam hari.

Kalau kamu memiliki sebuah kamar sewa tak berisi, semestinya kamu akan membuatnya diisi supaya pendapatanmu lebih terisi. Maka aku mendesaknya agar ruangan itu disewakan. Pak Wi menolak dan terus menolak dengan alasan yang berputar-putar. Aku berusaha mengerti watak orang tua itu yang begitu keras. Tetapi belakangan kesabaran menipis dan akhirnya sirna. Kamar itu adalah salah satu yang terluas di rumah ini. Maksudku paling luas, dengan kamar mandi, penghangat air, dan pendingin udara.

Nilai sewa kamar itu seharusnya bisa untuk membayar upah Pak Wi, serta sedikit sisanya untuk kebutuhan lain-lain. Sayangnya Pak Wi tak pernah mendengar. Dalam rencananya kamar itu harus kosong. Gilanya lagi, penghuni kamar itu dipaksa pergi dengan alasan yang dibenar-benarkan.

Pengosongan kamar di lantai dua dimulai delapan bulan lalu. Aku tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya di sana. Yang kelihatan, dua kali sepekan ia naik dengan membawa benda-benda mistik. Aku yang mengenalnya sejak kecil berusaha memaklumi kegandrungannya pada perkara-perkara kebatinan. Yang dilakukannya tentu berhubungan dengan kamar kosong itu.

Sekadar kamu tahu, Alvin, penghuni kamar itu yang sebelumnya yakni aku sendiri.

Alasannya, Hssh! Ia terus berkata padaku dengan memaksa. ‘Nduk, kamu harus tinggalkan kamar ini. Kamu harus kembali ke tempat ibu bapakmu di bawah. Biar Pak Wi saja yang mengurus kiriman-kiriman jahat supaya mereka tidak mengganggumu dan mengganggu rumah ini.’

Bukan aku membantah, melainkan perintahnya kutaati. Ruangan yang kutinggali sekarang sebelumnya disewakan sebagai ruang kantor. Papaku memang merancangnya sebagai kantornya sekaligus kamar beristirahat. Masih banyak barang peninggalan Papa dan bahkan benda-benda milik penyewa sebelumnya. Barang-barang itu sengaja tak kusingkirkan kecuali yang sama sekali tidak berguna atau tidak berkaitan dengan kenangan keluargaku.

Suatu waktu kuajukan keberatan padanya. Rumah ini antara lain memiliki tiga kamar besar dan sebuah ruang kantor. Harga sewa ruang kantor saja setara lima kali sewa kamar Wina. Jelas aku merugi banyak jika menuruti Pak Wi.

Tetapi ia hanya berkata, ‘Mudah-mudahan Gusti Allah nyukupi kamu, nduk. Yang utama kamu selamat.’

Kenyataannya setelah itu, pemasukan tak lagi mengimbangi pengeluaran. Aku seperti dipaksa mencari-cari panggung acara atau pernikahan atau kafe untuk menambal keperluan rumah tangga. Dan rupanya mencari uang sekarang dengan bernyanyi lebih sulit dibanding ketika dulu sekadar senang-senang. Mau bagaimana, belum tampak lagi cara.

Hari terus berganti, dunia tidak akan berhenti berputar karena kesusahan orang-orang. Aku lebih banyak pulang larut malam, bahkan meninggalkan rumah berhari-hari.

Minggu-minggu terakhir aku tak kuasa menahan kesabaran. Sudah terlalu sering Sybillia ditinggal dan aku tak mau menjadi ibu yang menyesal di kemudian hari. Aku memaksa Pak Wi agar kali ini menurutiku. Jika ia menghendaki, kali ini saja. Bukankah aku ini puan di rumah ini? Aku ingin pindah ke kamar Lis karena kudengar dia pindah bulan depan.

Saat kuutarakan hal itu, dengan ringannya Pak Wi berucap, ‘Gusti, gusti, kamu akan celaka nduk kalau meninggalkan kamar bapak ibumu!’

Selebihnya ia tak mengatakan apa-apa. Segala pengetahuan dan rahasia tetap menjadi miliknya. Secara rutin tiap Selasa dan Kamis Pak Wi naik dengan benda-bendanya dan menyendiri di atas sana. Kadang kala kujumpai wajahnya berpeluh-peluh dan napas tersendat-sendat ketika turun.

[Real Story] Kost Angker Pejaten Jakarta Selatan [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang